Kemelut dalam hati Jiya nyatanya datang tak bisa diperkirakan. Awalnya tatapan hangat yang menyambutnya dengan perkataan manis seperti melodi yang menghayutkan, kemudian berubah seperti jamuan pahit yang memelintir lidah hingga mati rasa. Beberapa kali Jiya menelan ludahnya untuk tetap bersikap tenang dan dewasa, meski pada akhirnya kedua matanya menghadirkan selaput bening yang ingin lolos dari tempatnya.
"Saya hanya ingin yang terbaik untuk putra saya, Justin. Jadi tolong, bisa pertimbangkan permintaan saya?"
Kursi beralas spon yang Jiya duduki rasanya tak senyaman kursi kayu yang keras. Ibunda Justin yang tenang dengan mengantarkan segala pertimbangan dan permasalahan dalam hatinya, hingga menciptakan sebuah permintaan pada Jiya, untuk pergi dari hidup putranya. Pergi dari hidup Justin, itu artinya bukan hanya berhenti bertemu dan berbicara satu hari atau satu bulan, tapi untuk selamanya, jangan pernah ada di hadapan putranya lagi.
Tidak masalah bagi Jiya, tapi tidak untuk Malik. Meski Jiya yakin dia bisa mengatasi, bagaimana cara menghilangkan sosok laki-laki lagi dalam hidup Malik, setelah ayahnya. Setiap rengekan Malik tentang Zidan dan Justin, membawa kepercayaan pada diri Jiya saat ini, tidak seharusnya dia menggantungkan diri terhadap laki-laki, terlebih sebatas kenalan. Jika saja dia bisa mendidik Malik untuk mencoba sedikit tangguh dan berhenti merengek dengan kehadiran sosok laki-laki seperti ayah, tentunya Jiya tidak akan pernah kenal jauh dengan Justin.
Tidak ada yang salah dengan permintaan Ibu Justin. Setiap ibu pasti ingin anaknya mendapatkan dan memiliki yang terbaik dalam hidupnya. Itu seolah menunjukkan, jika sosoknya bisa berhasil dianggap ibu yang baik untuk anaknya.
"Saya mengerti, saya tidak masalah dan tidak merasa berat hati untuk pergi dari hidup anak Ibu. Saya juga yakin, bahwa saya bisa mengatasi bagaimana menghilangkan kedekatan antara anak Ibu dengan anak saya, Malik. " Jiya menarik nafasnya, kemudian menghembuskannya berat. "Tapi saya tidak yakin, bahwa persepsi Ibu tentang saya dan wanita lain yang takdirnya seperti saya bisa berubah."
Bibir Laura terkatup, kedua mata birunya menatap kedua manik mata hitam di depannya. Dia enggan membuka hati dan pikirannya, namun wanita di depannya ini seperti membuka gerbang untuk dirinya masuk dan menatap pantulan dirinya sendiri di matanya.
"Sama seperti Ibu, kebahagiaan putra saya adalah kebahagiaan saya, kebahagiaan terbesar dalam hidup saya. Apapun akan saya lakukan untuk membuat putra saya bahagia, termasuk mempertahankannya. Yang dekat dengan putra Ibu adalah anak saya, bukan saya sendiri. Saya dengan Justin hanya sebatas kenalan. Ibu tidak perlu khawatir saya akan merecoki kehidupan anak ibu karena status saya." Jiya mengeratkan kepalan tangannya di atas kedua pahanya, kilatan bening di kedua matanya menggambarkan bagaimana dirinya merasa tidak terima, mendapatkan penilaian sangat kecil sebatas status pernikahan yang pernah ia sandang.
"Ibu juga pernah menikah, dan pasti pernah berpikir untuk menaiki bahtera kapal yang bahagia. Tidak ada ombak, hanya ada nyanyian lumba-lumba, anak-anak dan nahkoda kapal setiap harinya, juga angin yang membawa kapal pergi. Tapi tidak semua orang bisa menaiki bahtera kapal yang bahagia. Lalu, orang yang gagal menaikinya lama karena terombang-ambing oleh ombak, apakah dia dianggap gagal besar dalam hidupnya?"
Merosot jauh dalam pembicaraan, Laura tenggelam dalam perasaan. Bayangannya bersama pujaan hati yang telah lama pergi, melintas di benaknya. Dia tahu bagaimana rasanya membesarkan anak seorang diri kala sosok laki-laki pergi meninggalkannya demi tugasnya untuk Sang Pertiwi yang diabdinya. Setiap pagi dan malam dia berdiri tegak untuk putranya, demi kebahagiaan dan kehidupan putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
General FictionUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...