Satu minggu telah berlalu, Jiya seperti bongkahan asteroid yang melayang-layang di luar angkasa atau mungkin dia adalah planet dengan satu satelit alami yang terus mengitarinya. Terus mengorbit sesuai jalurnya. Tata kehidupan yang semula berantakan karena benda asing kini kembali berjalan normal, meski mulai berkurang kinerja kontrolnya.
"Jadi, Mbak Jiya ingin pulang ke Jakarta?"
Gerakan Jiya terhenti, tangannya menggantung di udara dengan kepulan susu hangat yang menubruk dan menempel di kulitnya. Kedua matanya sendu, namun terukir diiringi senyuman tulus. Minggu ini rasanya tidak secerah dan sepanjang biasanya.
"Iya, " jawab Jiya, mengambil segelas susu hangat di atas meja.
Mimik wajah Sri dan Anjani tak sehangat pagi ini, keduanya saling bertatapan melempar pandangan tidak rela. Satu bulan lebih ini kos sudah ramai dan menjadi lebih manis, itu juga karena kehadiran Jiya. Jika Jiya tidak ada, siapa lagi yang akan membuat hangat kos ini? Malika juga tidak akan tinggal di sini lagi, menyisakan Anjani dan Sri yang menelan kesepian dan memori.
"Enggak akan kembali lagi, Mbak?" tanya Sri, kacang kesukaannya mendadak tidak seenak biasanya.
Pertanyaan yang tidak sesulit Ujian Nasional anak SD, tapi kenyataannya membelit di dalam pikiran Jiya hingga membuat bibirnya kelu untuk menjawab. Jiya tidak pernah berpikir secara kritis, apakah dia akan kembali lagi ke kota Pasuruan nanti? Dia hanya memberikan pemikiran dangkal kepada Malik, bahwa mereka masih bisa berkomunikasi dari jauh dengan Sri, Anjani, dan Malika, termasuk juga Justin. Mungkin lebaran, itu saja Jiya harus menambahi embel-embel menabung di akhir kalimat. Jiya tidak mungkin setiap lebaran kembali ke Pasuruan.
"Belum tahu, tapi aku akan ingat kalian, kok. Pasti. Nanti sempetin ngobrol, ya. Jangan sampai lost contact. " Jiya menyunggingkan senyum, meski sebenarnya genggamannya pada gelas seperti menekan segala perasaannya.
Anjani dan Sri tidak tahu harus tersenyum atau bahkan sedih. Mereka berdua tahu, Jiya memiliki keluarga di Jakarta. Memilih pulang dan memulai hidup baru seperti keinginan Jiya yang pernah diceritakan, keduanya ingin Jiya menemukan gairah hidupnya kembali.
"Aku seneng, akhirnya Mbak bisa berani kembali ke Jakarta, " ujar Anjani, kemudian menghela nafas. "Sehat-sehat di sana ya, Mbak. Kita doain yang terbaik untuk Mbak dan Malik. Malik akan selamanya menjadi anak dan putra kebanggaan Mbak Jiya."
"Terima kasih, ya. Aku enggak tahu lagi kalau dulu berhenti di terminal Surabaya, mungkin aku enggak akan kenal kalian. " Jiya meletakkan kembali segelas susu cokelat hangat ke atas meja. "Sri, kok nangis, sih?! Aku jadi enggak enak hati, nih. "
Tawa pelan terdengar di teras, Sri menutup wajahnya menggunakan telapak tangan. Perempuan itu enggan dan malu menunjukkan wajahnya yang memerah mengeluarkan air mata. Anjani berulang kali mengusap pundaknya diiringi tawa geli, kawan tomboinya ini bisa menangis bombay juga.
Suara kerasnya tak jarang menghiasi kos, kini kelam dalam tangis kecilnya. "Apaan sih, Mbak?! Padahal baru satu bulan lebih satu minggu di sini, udah pulang aja! Ngambol aku, Mbak! Jangan ajak aku ngobrol!"
Ah, Sri akan merindukan kehangatan teman-temannya. Jiya berdiri merangkul pundak Sri, melihat segala keunikannya yang akan ia rindukan nanti setelah pulang ke Jakarta. Tawa dan lelucon Sri, pertengkarannya dengan Anjani, kelakuan konyol Anjani, juga sifat sinis namun kepedulian Malika, kebaikan dan sifat keibuan Bu Sutami, Jiya akan merindukan semuanya, termasuk kota ini.
Dia datang ke kota ini adalah ketidaksengajaan dan murni bukan keinginannya, namun mungkin di masa depan, Jiya akan secara sadar dan meniatkan diri untuk bisa datang kembali ke kota ini. Secara bersamaan Jiya akan kembali membiarkan putranya menelan perpisahan ke sekian kalinya, mulai dari keluarganya, ayahnya, teman sekolahnya di Jakarta, dan sekarang Jiya membuat Malik berpisah dengan Justin, Anjani, Malika, Sri dan kawan-kawannya yang lain di sini. Namun jika Jiya terus berdiam di sini, Jiya mengkhawatirkan segala sikap pengecutnya akan memisahkan dirinya dengan Malik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
Fiksi UmumUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...