33. Perahu Kertas

1.8K 77 3
                                    

Tahun berlalu cukup cepat, sepucuk daun hijau lama-kelamaan tumbuh menjadi sekumpulan bunga. Kincir angin usang telah tiada, tergantikan jernihnya kolam ikan kecil disoroti lampu gantung. Satu jam yang lalu pemiliknya pergi. Kulit bersihnya tersapu angin pagi. Pagi ini sepertinya akan datang hujan. Sekumpulan awan abu menciptakan pemikiran tak kunjung semu, meniup-niup lembutnya bulu mata anak laki-laki di depan pintu.

Pakaiannya cukup segar, jauh lebih segar dari biasanya. Harum badannya mengalahkan parfum manis anak remaja, percayalah. Kedua matanya sedikit melebar, rintik-rintik hujan mulai turun diiringi gemerisik dari dalam ruangan kelas.

"Aduh, Cah Ganteng! Selamat, ya!"

Sesosok wanita menyentuh pipi lembutnya, lipstik di bibirnya merah menyala, mencuri perhatian setiap kali memandangnya. Sosok Jiya muncul dari belakang, menenteng raport kecil milik putranya.

"Mbak Jiya, anaknya pinter banget, selamat ya, Mbak. "

"Terima kasih, Mbak. " Jiya melipir ke pinggir pintu kelas. "Anaknya ke mana, Mbak? Aku enggak keliatan dari tadi."

Nadia membenarkan tas selempangnya, menunjuk putranya di samping kolam sekolah bersama ayahnya. "Duh, anak itu nakal banget, Mbak. Masa waktu ujian, malamnya itu aku suruh belajar, malah main hape terus. Kalau dinasehatin nanti ujung-ujungnya ngadu ke Papa-nya. Capek aku tuh, Mbak. Malik jadi anak Tante aja, ya? Tuker sama Adul. Mau, enggak?"

"Enggak mau, " balas Malik, mengundang gelakan tawa dari dua orang dewasa sana.

"Kemarin Adul juara lari antar sekolah ya, Mbak? Malik cerita soalnya, katanya larinya kenceng banget, semangatnya membara-bara. Selamat ya, Mbak, "  ujar Jiya, dia sedikit merunduk untuk memasukkan raport malik ke dalam tas putranya tersebut.

Ah, lomba satu minggu sebelum ujian kenaikan kelas. Nadia masih ingat betul. "Aduh, Mbak bisa aja, saya jadi tersanjung, nih. Makasih ya, Mbak."

Suara teriakan dari kolam memecah obrolan, Adul-bocah laki-laki yang terlihat nakal itu melambai pada Sang Mama. "Mama, ayo! Katanya habis ini jalan-jalan ke Plaza?!"

"Malik, kapan-kapan main ke rumah Tante, ya. Mbak, aku duluan!"

"Iya. Hati-hati, Mbak."

Jiya melambai kecil, Nadia sudah berlalu pergi menuju keluarganya. Pagi ini sepertinya akan hujan, pekatnya awan seperti sekumpulan air yan tertahan. Jiya menggandeng lengan putranya untuk pulang. Dua hari yang lalu Malik telah menginjak usia semmbilan tahun, dan hari ini dia berhasil naik ke kelas tiga dengan meraih juara dua di kelasnya. Dua minggu yang lalu, Malik juga menyelesaikan gambarannya untuk seseorang yang istimewa, gambaran manis dengan gradasi warna yang indah. Pencapaian yang luar biasa baginya. Waktu berjalan begitu cepat, seolah baru kemarin Jiya merengkuh putra kecilnya dalam balutan selendang. Bicaranya yang tak lagi cadel, Malik tumbuh menjadi anak yang membawa segala kebahagiaan dalam hidup Jiya.

"Ma, ponselnya bunyi." Malik berceletuk, membawa Jiya ke dalam kesadarannya kembali.

Panggilan video dari Anjani, Jiya menepi ke halte pinggir jalan. "Mau liat kak Anjani, enggak? Ini ada kak Anjani."

"Mau, mana?" Malik lebih mendekat, menatap layar ponsel Sang Mama, di sana terpampang wajah Anjani yang lebih tirus.

"Ganggu enggak, Mbak? Maaf, ya."

"Enggak, kok. Ini aku habis ambil raport Malik." Jiya membalas, agak mendekatkan ponselnya pada Malik. "Kamu jadi cantik banget ya, Anjani. "

"Ah, Mbak. Dari dulu bilangnya gitu mulu, jadi malu. " Anjani nampak malu, tubuh wanita itu tak lagi gemuk seperti dulu. Wajahnya kian cantik, apalagi dengan balutan dress selutut yang semakin membuatnya manis seperti gulali. Efek cinta antara Badar dengan Anjani begitu luar biasa, Jiya yakin keduanya sudah seperti sepasang sendal. Foto-foto keduanya terpampang jelas di media sosial, menunjukkan hubungan keduanya berjalan langgeng dan manis.

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang