Bendera berwarna hijau dari kain terlihat berkobar disinari cahaya lampu yang tak se-benderang objek di bawahnya. Karpet yang digelar hingga teras, kemudian gelas plastik air mineral sudah teronggok banyak di tong sampah. Rupanya acara sudah selesai menjelang sholat Isya' tadi. Salon berukuran besar telah digotong oleh dua orang laki-laki ke dalam ruang tengah.
Suasana berkabung menyeliputi dalam rumah, hingga terlihat dari luar redupnya. Tidak akan ada lagi pelita yang biasa mengasihi atau pelaku yang menjadi rindu sekaligus problematika dalam rumah. Tidak ada yang tahu bagaimana se-tertutupnya Malika untuk tak membiarkan masalahnya keluar meluber. Tidak ada yang salah dengan orang di sekitarnya, tidak ada. Ketika problematika sekaligus obat penenangnya hilang, Malika merasakan bagaimana dirinya berlubang dan meloloskan sebuah perasaan menyesal.
Bagaimana tingkah laku ibunya yang seolah kian menyulam di atas luka, Malika tidak bisa untuk tidak berhenti meloloskan perasaannya. Benar, dia tidak akan bisa digerogoti rasa benci untuk tersenyum lebar kala ibunya yang membesarkannya pergi. Bukan, bukan ibunya, tapi sepertinya takdir ingin mengujinya, seberapa tebal dinding perasaan cintanya pada keluarganya, meski prahara yang datang menebas semua harapan dan cita-citanya.
Malika yang kaku, waktu dan ruang hatinya habis untuk singgah dan tumbuh bagi keluarganya. Bangunan rumah yang nampak rapuh dari luar, seandainya orang-orang yang terbiasa mencari kabar tahu, bagaimana Malika dan keluarganya bertahan.
"Ehm... Mal. Mas Pramoedyah kok makin hari makin ganteng ya, Mal? Kamu enggak ada niatan untuk banting setir gitu? Atau enggak takut mas Pramoedyah belok ke cewek lain?" Sri menyapukan pandangannya pada sosok Pramoedyah yang duduk memangku Malik, mengobrol dengan orang laki-laki. Lihatlah aura Radennya. Begitu menguar, membaur ke masyarakat. Entahlah, kapan kawannya bisa kepincut dengan Raden Mapan itu?
Sebuah cubitan di lengan kirinya mengejutkan, membuat Sri jadi mendelik tidak terima. "Apaan sih, Anjani?! Main cubit aja!!"
"Omonganmu itu, loh! Minta dijejelin!" desis Anjani.
Melongok-melongok dari jendela ruang tamu, Sri sepertinya akan ter-notice oleh Pramoedyah di teras rumah sebentar lagi. Demi Kembang Desa, kalau saja Malika sudi memberikan Pramoedyah padanya, sudah pasti Sri akan sujud syukur seratus kali. Sayangnya, dia bukanlah Bunga kos versi dua.
"Kalian enggak mau makan? Mumpung sotonya masih ada, kerupuknya juga, loh. Mbak Jiya?" Malika mengalihkan pandangannya, segera menutup rapat celah jendela ketika pandangannya bersibobrok dengan Pramoedyah.
Jiya menggeleng, "Makasih, Mal. Tadi di kos kita udah makan roti, " tolaknya lembut.
"Ck! Enggak asik kamu, Mal. Kupikir kamu bakal nangis-nangis dramatis, siapa tahu sambil dipeluk Mas Pramoedyah. Eh, malah makan es krim sama ponakan di teras. Modyar bayanganku ndelok awakmu nangis pertama kali. " Sri mendengus, nyatanya dia bersyukur Malika tak terlalu larut dalam kesedihan sepeninggal ibunya.
"Eh, kamu tau enggak, Mal?!" Anjani menyerobot, kedua matanya melebar antusias. "Coba tebak, siapa yang selama ini nge-crush-in orang, ternyata orang itu suka sama temennya?!"
"Yaelah, masa lalu kali, Anjani!! O-to-the-Gah, OGAH, ya, kalau aku harus bahas-bahas mantan crush!!" sahut Sri, rupanya dia masih tidak terima jika kalah dengan Anjani. Ralat, dengan teman se-menyebalkan itu. Sayang bukan sayang, Sri tidak terlalu ambil pusing dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan.
"Siapa sih, Mbak?" Malika bertanya penasaran, hanya Jiya-lah yang lebih sadar dan waras dibanding mereka berdua.
Kedua mata Jiya menyipit, bermaksud memancing. "Coba tebak, dong! Dia bagi Sri sepuluh, cuma cintanya bertepuk sebelah tangan aja. Siapa coba?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
Ficção GeralUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...