02. Katanya Dia Egois

2.6K 159 16
                                    

Masa iddahnya sudah berlalu, selama itu pula ia tetap bekerja demi menghidupi putranya selama. Zidan? Laki-laki itu pergi tanpa jejak, tak mempedulikan apa yang seharusnya ia lakukan. Jiya sudah tak peduli lagi. Tiga bulan lebih beberapa hari adalah waktu di mana Jiya merenung dan jatuh dalam pikirannya. Namun Jiya tahu, dia tidak boleh terpuruk dalam kesedihannya. Ada Malik, buah hatinya yang butuh perhatiannya. Dia tidak ingin Malik tumbuh dengan mental buruk karena kesedihannya sendiri.

Hari ini Jiya pergi ke rumah orang tuanya. Selama ia menjalani masa iddahnya, selain ibunya yang beberapa kali datang ke rumah memberi makanan atau cemilan, ada mbak Fitri dan kakak laki-lakinya yang juga banyak membantunya. Membantu mengantar Malik sekolah dan mengaji, juga membantu membelikan kebutuhan Jiya dan putranya. Jiya tidak tahu lagi, begitu banyak kebaikan yang diberikan oleh mbak Fitri dan kakaknya. Keluarga mereka begitu harmonis, semoga saja akan terus harmonis.

"Malik capek, tidak? Mau Mama gendong?" Jiya merunduk sedikit, menatap wajah putra kecilnya.

"Malik enggak capek, Ma. " Malik tersenyum, menunjukkan deretan gigi rapinya yang menggemaskan.

Pipi lumayan gembul, kulitnya cukup putih-bersih dengan rambut hitam legamnya. Dari kulit, itu keturunan dari Zidan. Sedangkan yang lainnya dominan ke Jiya. Orang-orang sering bilang, bahwa Malik adalah Jiya versi laki-laki. Jiya bersyukur, setidaknya Malik tidak memiliki paras yang mirip dengan Zidan. Dengan begitu, Jiya tak perlu makan hati saat melihat wajah Malik.

Jarak antara rumah Jiya dan rumah orang tuanya hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit, jika ditempuh dengan jalan kaki. Gang berwarna hijau terlihat semakin kentara, Jiya mengeratkan genggamannya pada tangan Malik. Jantungnya berdebar, seperti anak kecil yang pulang maghrib dari bermain atau anak gadis yang ketahuan pulang tengah malam. Ini lebih dari pada itu.

Sesampainya di depan rumah bercat abu-abu, Jiya menghirup udara rakus. Dengan semangat yang ia kumpulkan–mungkin setengah semangatnya telah menguap di sepanjang perjalanan tadi. Jiya membuka pagar rumah pelan. Suaranya seakan tercekat saat hendak mengetuk pintu rumah. Belum sempat Jiya mengetuknya, pintu rumah sudah terbuka. Sosok ibunya muncul tanpa senyuman.

"Assalamu'alaikum, Bu." Jiya meraih tangan ibunya untuk dicium, kemudian mengarahkan Malik untuk melakukan hal serupa.

Tak ada jawaban dari ibunya, Jiya merasakan hawa tak enak. Canggung dan kaku, Jiya masuk ke dalam rumah setelah ibunya masuk. Tidak ikut masuk lebih dalam, Jiya berdiri di ruang tamu. Meski dia sudah tumbuh di rumah ini selama 22 tahun lebih, mendadak Jiya menjadi orang asing yang akan canggung dan tak berani duduk sebelum pemilik rumah memberi izin.

"Ma, Mbah kenapa?" Malika bertanya, kepalanya mendongak demi menatap wajah ibunya.

Mungkin sedikit sifat peka dan sensitif Jiya menurun pada Malik, dia jadi mudah menangkap sesuatu yang ganjal di sekitarnya. Tapi dia justru khawatir, Malik akan peka dengan kondisi keluarganya yang tak lagi baik. Lebih-lebih, mungkin akan memendam kesedihan dan berakhir menyalahkan diri sendiri. Ah, sifat parno kambuh lagi.

"Tidak apa-apa, Sayang, " balas Jiya lembut, mengusap surai hitam putranya.

"Oh, ada Jiya."

Sosok ayahnya muncul, Jiya semakin tersenyum kaku. Suara berat tersebut seakan sudah menghakimi Jiya terlebih dahulu. Sekian lama Jiya tidak datang, dan ia baru datang setelah kabar perceraiannya terdengar.

"Ada apa ke sini?"

Seketika Jiya terdiam, menatap orang tuanya dengan tatapan tak terbaca. Dulu, dia bebas keluar-masuk ke rumah ini. Tanpa perlu ditanya, ada urusan apa ke sini? Yang jelas, dia merasa masih bagian dari rumah ini. Tapi, sekarang? Pertanyaan orang tuanya membuat Jiya merasa menjadi orang asing. Orang asing yang mencari orang yang ia kenal di dalam rumah ini.

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang