Ada yang mengisi celah kosong dalam kehidupan Malik, celah yang seharusnya diisi oleh sosok ayah dalam kehidupannya. Tapi Jiya tidak menginginkan ada orang lain yang mengisi celah kosong tersebut. Hampir tiga minggu ini sosok Justin jadi sering berkunjung ke kos, jelas Malik adalah tujuan utamanya. Jiya tidak ingin menjadi wanita kepedean.
Jiya sangka Justin lebih muda satu tahun darinya, ternyata umurnya sama dengannya. Ah, tentang wajah putih bak bulenya, laki-laki itu memang keturunan blasteran, bule Kanada tepatnya. Kakeknya adalah orang Kanada asli, menikah dengan neneknya yang seorang pribumi asli. Sedangkan ibunya yang blasteran Indonesia-Kanada menikah dengan laki-laki sesama blasteran Indonesia-Kanada.
Sifatnya ternyata cerewet dan santai, seorang humoris yang terkadang kaku jika ada yang tidak sesuai dengan hatinya. Dia bilang, Malik adalah versi kecilnya dulu yang terlempar kembali ke masa sekarang. Aneh, begitulah caranya memulai pembicaraan. Dibanding dengan minuman rasa permet karet, justru Justin adalah penggemar nomor satu minuman rasa Taro. Penyuka segala warna ungu, mulai dari kaos kaki, tas, case handphone, dasi, bahkan kaos. Dibuat berkedut mata Jiya melihat kaos kaki ungu bergambar bebek yang pria itu kenakan, dipadukan dengan setelan formal. Bahkan jas putih andalannya terlipat dengan hormat di atas pahanya. Apa itu caranya mendekatkan diri dengan anak-anak? Dengan segala benda-benda unyu dan aneh di umurnya yang akan menginjak 28 tahun beberapa bulan lagi.
"Kamu enggak berangkat kerja? Jangan kamu hasut anakku untuk suka dengan warna ungu dan hal unyu-unyu itu, Justin! Aku ingin anakku seperti Gajah Mada, bukan berlenggak-lenggok dengan kaos kaki ungu bercorak bebeknya!" Jiya mengusap noda minuman Taro di kedua ujung bibir Malik, mendesis pada Justin yang tergelak. Matanya melirik kecil Justin, dia masih ingat bagaimana laki-laki itu datang dan mengatakan kalimat seperti bom. Sudah beberapa minggu yang lalu, namun kecanggungan akan terjadi jika keduanya mengingat hal yang sama.
"Jiya, warna ungu bukan warna yang identik dengan perempuan. Baru kalau aku memakaikan kaos kaki dan dress pink pada Malik, kamu boleh pukul aku. Bebek itu kesukaan anak kecil, mau dia laki-laki atau perempuan, bebas, " sangkal Justin, menatap Malik dengan kaos kaki ungu hasil pemberiannya, ikhlas dan tulus.
Tidak ada sahutan dari Jiya, perempuan tersebut mengusap dahi putranya yang berkeringat. "Kau ajak ke mana putraku, Justin?"
Dibandingkan dengan ibunya-tidak, Jiya dan ibunya sama-sama cerewet, Justin jadi menghela nafas. "Aku ajak lari pagi, apa salah? Lalu aku bawa putramu ke sini. Jangan marah-marah, pelanggan yang baru duduk juga akan kabur. "
Berkenalan dengan Justin, Jiya kira laki-laki itu tipikal kalem dan berkarisma. Sayangnya, semakin lama Justin semakin konyol dan menyebalkan. Apa itu triknya mendekati Malik hingga lengket bak lem tikus padanya?
"Besok aku akan bawa Malik bermain, besok aku libur. Aku akan mengajaknya melihat tarian bersama temanku, lalu aku ajak bermain ke playzone pulangnya. Mungkin akan pulang sehabis maghrib, enggak apa, 'kan?"
"Oh, enggak boleh!" balas Jiya cepat, berbalik menatap Justin protes dan mengancam. "Malik hari Senin harus masuk ke TK barunya. Aku enggak mau dia telat bangun seperti minggu lalu setelah kau ajak ke playzone, berujung dia sakit."
Kalau sudah mengungkit kejadian minggu lalu, Justin angkat tangan. Jiya yang masih canggung-canggungnya jadi mengomel panjang-lebar, bahkan menarik profesinya sebagai dokter anak. Dirinya yang tidak profesional, dirinya yang tidak becus, dirinya yang ceroboh, semua Justin lahap.
"Ya sudah, denganmu saja bagaimana?" Justin menawar, memperhatikan ibu satu anak tersebut.
"Enggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
General FictionUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...