31. Pilihan Hati dari Pemikiran Kesekian Kali

711 34 1
                                    

Orang bilang, setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Setiap perasaan dan harapan, pasti akan ada kekecewaan. Setiap hal yang ada di dunia ini pasti akan diselingi kesedihan dan kebahagiaan. Tapi satu hal yang tidak bisa hilang, menjadi kenaifan namun ketulusan hati, yaitu cinta. Orang-orang akan menertawainya ketika dia berbicara tentang cinta, tapi ketahuilah bahwa Malika memiliki kisah cinta yang akan ia bawa sampai akhir hayatnya.

Dulu, ketika Malika masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, dia terduduk di bangkunya dengan senyuman kecil, mendengarkan bagaimana teman sekolahnya bercerita dengan semangat tentang liburannya ke Malang. Buah tangan yang menggantung di tas sana seperti memercik kecemburuan. Ah, Malika juga ingin berlibur bersama keluarganya seperti temannya, pergi ke Jatim Park 1, Selecta, Kebun Binatang Surabaya, atau ke kolam renang Soeropati. Setidaknya dia bisa bercerita tentang liburan keluarganya di depan teman-temannya.

Sebelum senyumannya semakin lebar, suara familiar memanggilnya. Itu suara ibunya, pagi-pagi datang ke kelasnya tanpa Malika tahu ada urusan apa. Yang ia tahu, pagi itu dia pulang lebih cepat dari teman-temannya yang lain. Tanpa menerka, Malika bertanya. Tempat apa yang akan dia datangi bersama ibunya? Ibunya bilang, mereka akan pergi ke rumah saudara sambil liburan. Ketika bis datang membawa keduanya, Malika kecil mengetuk pelan kaca jendela bis. Katanya ke rumah saudara sambil liburan, tapi kenapa ayah dan kakaknya tidak ikut?

Semakin jauh jarak yang tercipta, Malika sadar bahwa dia sudah jauh dari rumah, dari kakak dan sepupunya, juga dari ayahnya. Ibunya bilang saat ini mereka ada di Jakarta, tanah kelahiran ibunya. tapi daripada itu, tidak ada kehangatan di sini. saudara ibunya tidak seramah saudaranya di Pasuruan, Malika ingin pulang. Hingga sepuluh hari terlewati, dia berharap bisa pulang ke rumahnya. Malika rindu dengan ayah dan kakaknya, sepupunya, teman sekolah dan sahabatnya. Tidur berpindah tempat, terkadang di depan ruko, di tempat kumuh yang tak pernah ia bayangkan, atau beruntungnya di pos satpam. Nyamuk menyebalkan yang seringkali mengganggu tidurnya membawa pikiran kecilnya membuana. Kenapa tidak tidur di rumah saudara ibunya saja? Katanya masih saudara, kenapa harus tidur tidak nyaman seperti ini. Padahal Malika sudah membayangkan akan liburan di tempat seru. Kenyataannya hanya memandangi Monumen Nasional dengan kerinduan, kalau saja ayahnya di sini, pasti ayahnya akan membelikannya makanan.

Ah, kali ini, Tuhan tolong bawa aku ke rumah, aku ingin pulang. Malika tidak sedekat itu dengan Tuhan, tapi dia yakin bahwa Tuhan mendengar permintaannya. Bisa tidak, ketika ia tutup mata, tiba-tiba saja dia di rumah. Dan ketika permintaan itu terkabul, Malika bisa pulang ke rumahnya dengan belas kasihani, namun dia harus tahu bahwa keadaan keluarganya sedang tidak baik-baik saja. Ibunya membawanya melarikan diri ke Jakarta demi menghindari tagihan hutang dan amarah ayahnya, ketika prahara di depan mata, tubuh kecilnya tak bergeming. Orang-orang datang dan bertanya padanya, kedua bahunya terangkat. Tidak tahu, Malika hanya tahu bahwa ibunya berhutang banyak dan ayahnya marah, hingga keduanya berpisah tempat tinggal.

"Enggak ada yang ketinggalan, Mal?"

Lamunannya buyar, Malika menggeleng, satu jam lagi dia akan berangkat menuju Bandar Udara Internasional Juanda bersama rekan kerjanya yang lain. Setengah jam yang lalu Sri datang, membawa paper bag berisi makanan ringan, oleh-oleh dari Batu, katanya.

"Eh, ada." Sri menyengir, mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya.

Ujung mengilat yang tumpul, bentuknya balok kecil, persis mainan anak-anak. Sayangnya itu bukan mainan anak-anak, melainkan impian bagi wanita yang dimabuk asmara. Sri membukanya, menunjukkan sebuah cincin mengilat yang tak asing bagi Malika. Cincin yang pernah ia terima dari Pramoedyah, tidak pernah ia pakai sekalipun, bahkan untuk menatapnya lama saja sudah memakan perasaan.

"Kenapa lagi? Cincinnya enggak mau sama mas Pram?" Malika mendengus, menurunkan kopernya ke lantai kamar. "Mau pakai alasan apa lagi sih, Sri? Bilang ke orangnya, mau pakai perasaan atau logika, aku sama dia enggak akan pernah jadi. "

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang