Note:
Chapter ini terdapat beberapa kata kasar, mohon kebijakannya untuk menyaring hal baik dan buruk dalam cerita ini. Terima kasih atas pengertiannya.
*****
"Nanti di sekolah jangan nakal, ya. Bekalnya dimakan, Malik. Jangan jahil dan suka mengganggu orang lain. Nurut sama guru, oke? Jangan membuat keributan, yang anteng, ya." Jiya membenahkan anak poni rambut Malik, kemudian menyapu lembut seragam anaknya. Malik menganggukkan kepala begitu mendengar titah ibunya, kedua pipi gembul tersebut berhasil memancing Jiya untuk mencubitnya gemas.
Beberapa anak-anak memasuki sekolah, pandangan mereka tak jarang mengarah pada Malik, menghasilkan mata-mata tersenyum malu di wajah bocah perempuan seumurannya. Ada perasaan geli di hati Jiya melihat putranya mampu menarik perhatian bocah perempuan di sekolah TK.
Bibir mungil Malik terbuka setelah mencium tangan Jiya, bocah itu merentangkan tangan kanannya pada seseorang di samping Jiya, berjarak hampir satu meter. "Om Justin, mau salim."
Justin tersentak, pria itu segera menyodorkan tangan kanannya pada Malik, disambut sapuan bibir mungil yang terasa lembut di kulit tangannya. Meski beberapa kali dia dicium oleh keponakannya, perasaan hangat dan berdebar muncul kali ini. Sikap lucu Malik yang menggemaskan, Justin menyayangi bocah itu seperti seseorang yang berharga dalam hidupnya.
"Nanti sore Om jemput sama Mama. Belajar yang ceria. Nanti cerita sama Om, Malik punya teman berapa, oke?! Tos dulu dong, ganteng!" Justin mengangkat kedua telapak tangannya, senyuman manis memikatnya seolah kalah manis dengan senyum Malik pagi ini.
"Oke!!" seru Malik, menjinjit sedikit demi melakukan highfive dengan Justin. Tas robotnya bergerak mengikuti tubuhnya, begitu juga dengan anak poni yang telah ibunya rapikan tadi, membawa kejengkelan kecil.
"Selamat pagi, Malik!"
Sapaan dari belakang, dua wanita muda datang dengan senyuman hangat. Agaknya efek tanggal tua tak begitu berpengaruh pada wajah keduanya, atau memang profesinya yang sudah menjamur ke dalam diri.
"Salim dulu, Malik, " intruksi Jiya, mengarahkan anaknya untuk mencium tangan dari kedua Sang Guru.
"Wah, Malik hari pertama diantar sama Mama dan Papa, ya! Pasti semangat buat belajar dan ketemu teman-teman yang lain!" Salah satu dari kedua guru tersenyum lembut, sepertinya bocah menggemaskan seperti Malik akan menjadi anak paling terkenal di seantero TK.
Bunga mawar yang sempat layu ujungnya mendadak mekar, begitulah Justin yang sedang salah tingkah dalam diamnya. Pria berwajah damai dan teduh itu seperti payung yang tertiup angin, kemudian diikatkan pada sebuah tiang agar tidak terbang terbawa angin. Nyatanya tidak ada reaksi yang muncul di wajah Jiya, ekspresi biasa namun terkesan datar.
"Saya titip Malik ya, Bu. Kalau Malik nanti bandel atau tidak sopan, jangan sungkan untuk ditegur, kalau perlu dicubit saja, " ujar Jiya, menyerahkan Malik pada kedua gurunya.
"Inggih, Bu. Terima kasih sudah mempercayakan Malik pada kami. Ayo Malik, kita masuk ke dalam. Kami pamit masuk dulu, Ibu, Bapak. "
Diajaknya Malik masuk ke dalam. Sebelum masuk dituntun gurunya, Malik mencium kedua pipi Jiya bergantian, kemudian menyerahkan tangannya untuk digenggam Sang Guru ragu-ragu. Bocah pendiam seperti Malik terlihat jelas kikuk dan tidak terbiasa berinteraksi lebih dengan orang lain. Mungkin ke depannya Malik akan terbiasa dengan lingkungan TK, seperti dengan Justin.
Lihat saja wajah bersih dan tubuh menggemaskan Malik, mengingatkan Jiya pada hari pertama Malik masuk ke TK Kecil, begitu senang hingga meloncat-loncat di gandengannya. Ini adalah kedua kalinya Malik menginjakkan kaki di TK baru. Dia tidak begitu excited, tidak seperti sewaktu bersekolah di TK sebelumnya. Mungkin karena tidak ada sepupunya, Eva, yang bisa dia ajak ke mana saja untuk bermain dan mengobrol. Hari-hari sekolahnya akan begitu semakin menyenangkan ketika Jiya mengantarnya bersama Zidan, lalu akan ada Eva yang menyempil di tengah-tengah. Lengkap sudah senyuman Malik, bak baterai ponsel yang penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
Ficción GeneralUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...