Mentari pagi kembali terbit satu setengah jam yang lalu. Bis berwarna biru dongker melaju perlahan. Suasana dalam bis tak seramai di pagi kemarin hari, kursi-kursi penumpang kebanyakan sudah kosong. Hanya tersisa 12 orang dalam bis, termasuk dua anak kecil. Kebanyakan sudah turun di terminal kurang lebih dua jam yang lalu.
Tangan kecil dari bocah laki-laki menggapai pipi ibunya, menepuk pelan untuk membangunkannya. Rambut jamur lucunya sudah berantakan, bahkan bantal donatnya sudah ia pinggirkan bersama tas kesayangan. Kedua mata jernihnya menatap wajah tenang ibunya yang tidur. Dua kali tepukan keras-baginya, berhasil membuat ibunya mengerjap bangun.
"Ma, Mama!" panggilnya.
Sudah berapa lama Jiya tertidur sejak tengah malam berhenti di sebuah depot untuk makan? Kini dia menguap pelan, tertutupi oleh telapak tangan kanannya. Mendengar suara malaikat kecilnya, dia terbangun. Ah tidak, tamparan pelan rasanya. Dia kerjapkan matanya dan menoleh ke samping kanan. Ke mana perginya sepasang orang tua di kursi sebelah? Apa kedua orang tua tersebut tidak jadi ke kota Surabaya?
"Jam berapa sekarang?" Jiya bergumam, merogoh tasnya untuk mencari keberadaan ponselnya. Ketika melihat angka di layar ponselra, kedua matanya melotot tak percaya.
Sekarang sudah jam setengah tujuh pagi, hampir jam tujuh pagi. Bukankah seharusnya dia sudah sampai di Kota Surabaya beberapa jam yang lalu? Kenapa bisnya lama sekali untuk berhenti terminal?
"Olang-olah sudah tulun dali tadi, kita kapan tulun, Ma? Malik capek duduk telus. Kulsinya lasanya kelas kaya tembok. "
Suara cadel Malik terdengar, wajah cerah bocah tersebut berbeda dengan wajah kusut Jiya. Sepertinya, omongannya membuat Sang Ibu segera menoleh ke belakang, menatap kaget bangku penumpang yang sudah kosong. Barulah bagian depan terlihat siku orang-orang yang bertengger lelah.
Melihat hari kembali terang, Jiya memakai tas ranselnya kembali. Membereskan pakaian Malik beserta rambutnya. Jiya intruksikan putranya untuk memeluk boneka donat dan memakai tas kesayangannya, selagi ia memasang sepatu bocah itu. Degup jantungnya terasa menggerogoti jiwanya. Sepertinya Jiya melewatkan sesuatu. Dia harus bertanya pada kernet bis, di terminal mana bis ini guakan berhenti? Apa memang benar mereka belum sampai di kota Surabaya?
"Mama gendong atau jalan sendiri?" tanya Jiya, berdiri sembari merentangkan kedua tangannya pada Malik.
"Jalan sendili, Ma, " jawab Malik, turun hati-hati dari kursi. Tangan kecilnya ia tautkan pada Sang Ibu, berusaha menyeimbangkan tubuhnya dengan laju bis.
Belum sempat tersenyum, suara kernet bis terdengar keras. Inilah yang Jiya tunggu-tunggu, dia tidak perlu lagi bertanya ke kursi depan.
"Pasuruan-Pasuruan!! Kota Pasuruan!! Terminal lama!!"
"Kota Pasuruan, terminal lama!! Terakhirr!!"
Mulut Jiya terbuka sangking terkejutnya. Bahkan genggamannya pada Malik terlepas, membuat putranya hampir terjungkal dan membentur dinding bis. Pikirannya seketika kosong, nama kota yang tidak ia ketahui berderet memenuhi otaknya.
Oh, berapa lama Jiya tertidur sampai dia melewatkan terminal tujuan kota Surabaya? Apa itu kota Pasuruan? Terminal lama? Di mana sebenarnya dia? Apa kota Pasuruan nama lain dari kota Surabaya?
"Ayo, Malik!!" Secepat kilat Jiya menggendong tubuh mungil Malik, berpegangan pada setiap punggung kursi menuju kursi depan.
Laki-laki berkaos hitam mengibaskan tangannya, kepedasan. Tampak supir bis yang bersiul riang, tidak sama dengan kalut dalam diri Jiya. Kumis tebal yang membuat Malik ketakutan dan menyembunyikan wajahnya di leher Jiya, terlihat seperti tokoh penjahat dalam animasi anak-anak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
Ficción GeneralUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...