06. Amarahnya Lepas

2.2K 141 6
                                    

"Terima kasih banyak atas bantuannya."

Aroma khas rumah sakit yang konon seperti bunga kuburan. Lantainya cukup dingin, namun tidak mampu menembus alas sepatu Jiya. Beberapa perawat atau kerabat pasien rumah sakit terlihat berlalu-lalang di depan ruang pemeriksaan kesehatan anak-anak. Sejak beberapa detik yang lalu Jiya melangkah keluar ruangan pemeriksaan, wajah Malik sedikit lebih cerah daripada sewaktu di stasiun. Mungkin efek gantungan bangau kertas dan ornamen anak-anak dalam ruang Poli Anak.

Sejak beberapa menit yang lalu juga, laki-laki bernama Justin keluar ruangan. Tidak ada yang perlu Jiya lakukan lagi di Rumah Sakit ini setelah menebus obat, dia berjalan keluar dari rumah sakit, kopernya sudah ia titipkan pada becak pesanannya sebelum masuk ke rumah sakit. Ada Malik yang memejamkan mata dalam gendongannya.

Melangkah semakin jauh, Jiya tidak sadar ada seseorang yang mencarinya dengan sekantong plastik berisi makanan dan minuman. Mungkin kalau saja Jiya tidak terlalu banyak pikiran dan kekecewaan, wanita itu tidak akan mengalami kesulitan. Ke mana dia akan pergi sekarang? Menuju Surabaya di saat kondisi putranya tidak baik-baik saja? Menginap di hotel? Tidak, Jiya tidak semurah hati itu mengeluarkan uang banyak. Tidak ada satu pun kerabat yang Jiya miliki di Kota ini.

Sebelum mulai berjalan menuju becak di depan rumah sakit, wanita berambut model Wolfcut menghampirinya dengan wajah berseri. Celana katun yang terlihat tidak pernah disetrika dengan kaos kebesaran, malah semakin menenggelamkan citra baiknya. Kendaraan yang lalu-lalang sepertinya akan kalah pamor dengan perempuan itu.

"Permisi, Mbak! Mbak orang baru, ya? Pendatang baru? Perlu penginapan, kan?!" ujarnya antusias, bahkan Malik yang awalnya terpejam jadi mengernyit.

Ada spesies orang yang baru Jiya temui di Kota ini, selain ramah juga akrab atau sok akrab? Jiya bukan ingin sombong, tapi terkadang sikap defensifnya akan kambuh bak keong yang kembali masuk ke cangkangnya.

"Iya, " jawab Jiya, setengah kesusahan berjalan sembari membenarkan letak tas ranselnya. Wanita itu masih mengikuti Jiya menuju becak, bak sales kosmetik atau panci.

"Mbak butuh penginapan, kan?! Iya, dong! Masa enggak butuh?!"

Ekor mata Jiya melirik risih, buru-buru ia berjalan, menolak halus keberadaan wanita aneh itu. Datang-datang menawarkan penginapan dengan mimik bergairah nan antusias, bagaimana Jiya tidak waswas?

"Mbak! Mbak, ih! Tunggu!! Mbak butuh kos, kan? Saya ada rekomendasi kos paling murah, murrrah, Mbak!! Suer, deh! Mbak!! Tolonglah, Mbak!!"

"Mbak berhenti dulu, dengerin saya! Saya bisa jelasin semuanya!" Berusaha mengejar Jiya dengan mimik serius bercampur melas.

"Mbak, ini penawaran elit dan enggak ada lagi di dunia ini! Dengerin dulu!! Tempat kosnya beneran uapikkk, Mbak!! Bersih, orang-orangnya juga ramah, Mbak enggak akan nemuin kos yang unik dan asik di tempat lain, Mbak! Apalagi pemilik kosnya sayang anak!! Mbak!! Haloo!! Mbak!! Ayolah!!" Tidak menyerah berusaha, ia beberapa kali muncul di samping Jiya kemudian menyerah dan ngos-ngosan.

Jiya menggeleng, berdecak dalam hati. Semakin cepat ia melangkah, tangannya melambai pada tukang becak pesanannya. Memang benar dugaannya, wanita itu aneh dan mencurigakan. Bisa-bisa dia membawa rasa tidak nyaman untuk Jiya seterusnya.

"Mbak!! Masa Mbak tega, sih, bikin saya dikeluarin dari kos gara-gara nunggak empat bulan!! Ini usaha saya buat bikin pemilik kos enggak ngusir saya, Mbak!! Mbak jahat banget, deh!!"

Sontak Jiya berhenti berjalan dan berbalik, "Loh, kok kamu nyalahin saya, sih?! Itu, 'kan, gara-gara kamu sendiri! Siapa suruh nunggak empat bulan!" protesnya dengan mendelik kecil.

Wanita berambut model Wolfcut tersebut tersenyum miris, aura ceria dan antusiasnya hilang berganti mimik orang susah. Jiya jadi dibuat bingung dan kikuk.

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang