09. Yang Pemarah

1.4K 91 1
                                    

Acara makan bakso bersama Justin adalah makan paling menyenangkan bagi Malik, bisa disuapi laki-laki ramah itu saja Malik menjadi manja dan merengek agar Justin kembali. Jiya sedari tadi diam dengan pikiran jengkel, kemudian mencubit pipi Malik, membuat bocah itu meringsut sedih dan murung. Kembali pada asalnya, Justin ramah dan baik, dengan murah hati menuruti kemauan manja Malik yang sekadar orang kenalan saja.

"Om Justin janji besok mau ke sini?" Malik keluar dari mobil dibantu Justin, digendong dan diusap kepalanya bak putra raja. Lain kali Jiya akan menarik Malik untuk tidak terlalu manja.

Jiya menarik nafasnya sembari keluar dari mobil, jengkelnya sudah mulai keluar tanduknya. "Malik enggak boleh gitu. Ayo minta maaf sama Dokter Justin. "

Meski menahan emosinya, tetap saja suaranya terdengar tegas dan menciutkan nyali Malik. Jiya paling anti jika Malik sudah manja pada orang lain, bisa-bisa merepotkan orang lain. Apalagi ini Dokter Justin, besok pasti laki-laki ini akan ogah menemui Malik yang cerewet dan ekpresif.

"Enggak apa, Mbak. Panggil saya Justin aja, jangan Dokter. " Justin tersenyum, menurunkan Malik dari gendongannya.

"Maaf. " Suara kecil Malik terdengar, dia menunduk menatap tanah. Jiya memandangnya dengan menghela nafas. Detik kemudian kepala Malik kembali mendongak, sebungkus es krim cup diserahkan oleh Justin yang ia ambil dari dashboard mobil sejak Jiya dan Malik meleng sejenak.

"Jagoan Om kok murung, sih? Patih Gajah Mada tidak menundukkan kepala dan murung saat berperang, loh. " Justin menyodorkan es krim yang ia beli setelah pulang dari warung bakso, mencoba menghibur. "Ini, hadiah dari Om buat Malik karena Malik sudah berani minta maaf. Nanti Om ke sini main bareng Malik lagi. "

Tidak ada jawaban dari Malik, bocah itu takut ibunya akan marah. Bibirnya terkatup meski kedua tangannya ragu-ragu menerima es krim dari Justin. Lihat saja kedua mata ibunya yang tak setenang air. Justin sudah mencairkan suasana hati Malik, tapi tatapan Jiya sekeras batu yang tak berubah dalam sekejap.

"Saya pamit dulu, Mbak. Terima kasih. Malik, Om balik dulu, ya! Jangan nakal, nanti ibu kamu cepat tua kalau kamu nakal. Nakalnya sama Om aja." Justin tersenyum, kemudian meringis pada sosok Jiya yang menatapnya tak berkedip, menakutkan.

"Terima kasih, Justin. Maaf sudah merepotkan, lain kali kalau Malik minta sesuatu jangan dikabulkan. Hati-hati di jalan. " Jiya menggandeng lengan Malik setelah Justin benar-benar masuk ke dalam mobilnya.

Lambaian kecil dari Malik, Justin mengacungkan jempolnya pada jagoan kecilnya. Mobil berwarna putih tersebut berlalu pergi dari depan kos. Setelah benar-benar keluar menuju jalan besar, barulah Jiya berbalik masuk ke kos. Kebetulan tak terduga, Malika berjalan keluar dari kos dengan tatapan tidak mengenakkan. Justru wajah Jiya yang melunak, ketimbang sama kerasnya dengan wajah Malika.

Tidak ada sapaan hangat padanya, atau bahkan Malik yang sudah menatap Malika dengan menerka-nerka, sok tahu. Malika datang dengan pertanyaan sinis di telinga Jiya.

"Mbak kenal sama mas Justin?"

Pertanyaan sensi. Jiya bukan wanita polos yang tidak paham dengan nada bicara Malika, terkesan membawa permusuhan.

"Hanya kenalan saja, ada ap–"

"Jauhi mas Justin! Aku enggak suka!!"

Sentakan kecil membawa perintah, Jiya tertegun di tempatnya. Genggamannya pada Malik tak sadar sudah terlepas, bocah itu mengotak-atik isi box kuenya, mengeluarkan sebuah cup cake lucu yang ia sodorkan pada Malika. Alih-alih menerimanya dan memekik gemas, Malika justru meliriknya datar dan kaku. Berjalan begitu saja melewati Jiya dan Malik dengan alis menukik tanpa ada kata sapaan kembali.

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang