Sejak satu jam yang lalu matahari sudah terbit. Bunyi sapu menggores tanah terdengar, suara beberapa orang membangunkan penghuni kamar lain. Jiya membuka pintu kamar kosnya, melihat wanita yang kemarin hari membawanya ke sini sedang berkutat dengan sepedanya di bawah pohon mangga. Namanya Sri, lengkapnya Sri Maheswari.
Halaman kos yang cukup luas dengan satu pohon mangga lebat berdiri di samping kamar mandi, ada bangku kayu panjang di sampingnya. Melihat pot-pot berjajar apik di pinggiran kos, sepertinya pemilik kos merawatnya dengan baik. Apalagi kolam ikan kecil dari semen yang tertupi papan kayu tipis. Meski begitu, pagar kos berwarna-warni, Jiya tak yakin itu selera pemilik kos.
"Mbak!! Mbak Jiya!!"
Suara besar Sri, perempuan dengan wajah bantal itu menyapa Jiya dengen deretan gigi rapinya, dan mungkin sedikit bau? Ah, bercanda.
"Pagi, Mbak!! Gimana tidurnya, Mbak? Nyenyak?" tanyanya.
Jiya tersenyum tipis, menganggukkan kepalanya. Kedua matanya menatap Sri mengotak-atik sepedanya, rantainya lepas dari jeruji. Sosok tomboi itu sepertinya pembuat keributan. Rambut sebahunya yang berantakan rasanya ingin Jiya sisir dan mengepangnya, persis seperti milik keponakannya.
"Namanya Munir? Maksudnya, sepeda kamu namanya Munir?" Jiya bertanya setelah melihat sticker yang menempel di badan sepeda Sri. Munir, itulah yang tertera di sana.
Kepala Sri mengangguk, "Iya, Mbak. Ini namanya Munir, jagoanku. Sudah dari zaman aku SMP kelas tiga sampai kuliah semester dua. Cakep toh, Mbak?" balasnya, menepuk-nepuk sadel sepedanya.
Meringis, Jiya menggaruk pipinya. Cakep? Tapi sepeda Sri kalah keren dengan sepeda milik Esa yang bisa dilipat semaunya. Bahkan dari segi warnanya saja sudah kalah kece. Sepeda Esa memiliki lampu ramping, sedangkan sepeda Sri cembung, malah mirip tahi lalat.
"Antik, ya, " ucap Jiya, bersandar pada dinding pintu. Kuno alias onthel, itulah sepeda milik Sri.
"Loh, iya. Onthel dan kuno begini sepedaku pernah nyalip banyak sepeda kece. Liat aja bannya masih mulus, sadelnya juga empuk, enggak bakal bikin bedegelan, loh, Mbak. " Sri menepuk kedua tangannya, membuang debu menempel. Setelah itu dia menyampirkan jagrak atau jagang sepedanya, menaiki Munirnya dan mengayuhnya untuk keliling halaman kos.
Mencoba sepeda kesayangannya sekali putaran dan berhenti di depan kamar kos Jiya dengan menepuk tempat kosong di belakang sadel. "Ayo, Mbak, kita muter-muter daerah sini. Mbak, 'kan, orang baru di sini. Biar kenal, gitu."
Belum sempat Jiya mengibaskan tangannya untuk menolak, perempuan berkerudung hitam datang sambil melempar bingkisan plastik hitam pada Sri. Tiba-tiba datang dengan wajah kusut, lihat saja kedua alisnya yang kaku bak angry bird. Langkahnya gerusak-gerusuk membuka pintu, sepertinya tipikal orang pemarah.
"Tuh, jangan ganggu aku, " ketusnya, melirik Sri sekilas, kemudian masuk ke dalam kamar kos dan menutup pintu kasar.
Bunyi gebrakan pintu terdengar kasar, Jiya kembali meringis. Sepertinya dia tidak akan berinteraksi dengan wanita barusan, tidak mau mencari masalah untuk sementara waktu di sini.
"Yang barusan itu namanya Malika, Mbak. " Sri berceletuk, menggantungkan bingkisan plastik dari Malika di setang sepedanya.
Wah, nama yang sama dengan Malik untuk versi perempuan. Raja dan Ratu, itulah artinya. Kakeknya yang memberikan nama itu untuk Malik sebelum meninggal. Sama seperti kakeknya, Jiya berharap Malik tumbuh menjadi orang yang hebat dan tangguh, juga memiliki pendirian yang kuat. Namun Jiya harus tahu, mungkin kakeknya memberi nama tersebut berharap Malik tumbuh menjadi orang besar yang bisa melindungi dan menopang kehidupan ibunya, ibunya seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
Fiksi UmumUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...