"Besok sore katanya masmu ke sini, mau ajak jalan Malik sama Eva. Kamu besok ikut ibu arisan ke rumahnya Bu Dono aja, soalnya ayahmu besok mau liat kolam lelenya. Daripada sendirian di rumah, mending ikut ibu. Memang kamu mau ikut ayahmu liat kolam lele? Keburu bosan kamu."
Jiya menghela, dia paling menghindari kalau soal acara ibu-ibu di kampungnya. Apalagi kalau soal Bu Dono sekeluarga. "Ogah, ah. Entar dijodoh-jodohin lagi sama mas Prajo. Aku enggak mau ikut, Ibu aja. "
"Halah, memang kamu aja yang ribet. Prajo itu udah mau nikah lagi. Siapa juga yang mau jodohin kamu sama Prajo. Kemarin itu ibu cuma guyon, biar kamu mau pulang ke Jakarta." Ibunya jadi sinis, wanita paruh baya tersebut berbalik masuk ke dalam rumah. "Mending ibu jodohin kamu sama anaknya Pak RT, lumayan kolam mujaernya, siapa tahu kalau kalian nikah bakalan dikasih kolam seisinya. Ya, kan?"
"Mas Heru mana mau sama janda, Bu. Janda anak satu lagi," desis Jiya pelan. Heru Handoko, laki-laki berupa rupawan berseragam PNS dengan sejuta barisan mantan cantiknya. Terakhir yang Jiya dengar, mantan pacar terakhirnya adalah sekuter alias selebgram kurang terkenal, namun parasnya yang aduhai kelas atas. Mungin jika disandingkan dengan Yuki Kato, tidak kalah pancaran muka blasteran Cina-nya tersebut.
Suara ibunya tak lagi terdengar, Jiya tetap anteng di teras rumah beserta putranya. Dua cangkir susu hangat di atas meja menjadi teman mengobrol bersama putra kecilnya. Di atas kursi Malik duduk sembari mengisi lembar kosong di buku gambarnya. Meja bundar yang cukup lebar, sangat cukup untuk menjadi sanggahan bagi putranya tanpa harus mengusik dua cangkir susu di sisi sebelah Jiya. Krayon miliknya tergeletak menggemaskan, sesekali Jiya mengernyit untuk menerka apa yang digambar oleh putranya malam ini. Dahi Malik yang berkerut mengundang senyuman manis bagi Jiya.
Malam damai di bawah langit malam, bintang yang bisa dihitung dengan jari terlihat menyembul dari balik awan dan polusi. Jakarta tidak pernah tidur dan membiarkan langit sedikit lebih sehat dari hari biasanya, meski begitu kota ini menjadi banyak naungan orang mencari segelumit harta untuk menyambung hidup atau sekadar menambah pundi-pundi kenikmatan duniawi lain.
"Ma, Mama." Malik mendongak, memberikan atensinya pada Sang Mama.
Jiya mengerjap sadar, "Iya?" sahutnya.
"Kata mbah, kalau makannya enggak habis nanti ayamnya mati. Itu benelan, Ma? Tapi aku kan enggak punya ayam, Ma. Jadi enggak apa-apa kalau aku makannya enggak habis?" Malik berkerut, ujung krayonnya menggantung, menunggu bocah itu melanjutkan gambarannya. Diam-diam bocah itu sibuk dengan pikirannya sendiri sedari tadi, lucunya.
Jiya tergelak, dulu sewaktu ia kecil ibunya juga bicara seperti itu padanya. Padahal hewan peliharaan Jiya bukanlah ayam, melainkan kelinci. Ujung-ujungnya kelincinya mati juga karena sering ia bawa ke sana ke mari. Hewan imut itu mati menyesakkan di dalam kamarnya, sejak saat itu ayahnya melarang Jiya memelihara hewan. Mentok-mentok ikan cupang, itu juga tidak berselang lama.
"Ayamnya yang ada mati kalau Malik enggak kasih makan, " balas Jiya, menopang wajahnya dengan sebelah tangan.
"Oh, enggak apa-apa? Jadi nanti setengahnya Malik kasih aja ke hewannya bial enggak mati." Malik menimpali cepat, senyumnya mengembang lebar bak bulan sabit.
"Emang mau dikasih ke mana? Malik kan enggak punya hewan peliharaan. Apa mau dikasih ke anjingnya om Galang aja? Emangnya Malik berani?" Jiya menggoda, mengingat tahun kemarin Malik berlari tunggang-langgang ketika anjing tetangganya mendekat.
"Dikasih ke kucingnya tante Mona. Tante cantik itu punya dua kucing loh, Ma. " Berikutnya Malik jadi meringis, mengingat wajah menyeramkan anjing milik om Galang. Gonggongannya keras, bahkan seperti terompet rusak. Kalau berlari lidahnya tak jarang keluar, menakutkan. Malik sudah hilang terlebih dahulu ketika suara anjing tersebut terdengar. Apalagi jika sampai diendus-endus, bisa-bisa Malik sudah pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
Ficción GeneralUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...