"Ini toh, yang mau kamu kenalin ke ibu?"
Mimik muka tak jauh dari ekspektasi. Sejak dari rumah–jauh hari, Anjani sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Hari ini Mas Badar mengajaknya bertemu dengan ibunya. Penampilannya pun jauh berbeda dari biasanya. Yang biasanya dia akan berbalut celana selutut dengan kaos oblong, kini celana longgar semata kaki berwarna hitam dipadukan blouse bercorak bunga dengan kesan manis. Rambut sebahunya sudah ia tata sedemikan rupa, sehingga nampak seperti deburan ombak laut di pagi hari. Dibalut parfum manis khas cewek kue, trend-nya, Anjani yakin penampilannya tidak sememalukan itu di hadapan ibu Mas Badar.
Kursi kayu berbantal milik keluarga Badar sepertinya tidak sekeras itu di bokong, tapi Anjani sudah ingin minggat semenjak kalimat sakral keluar dari mulut Ibu Badar. Kedua matanya melirik Badar, apa kiranya yang dipikirkan pria itu?
"Iya, Bu. Ini Anjani, perempuan yang pernah aku ceritain ke ibu. " Badar menoleh, melemparkan senyuman simpul pada Anjani.
Oh, Anjani. Seandainya saja dia ikut kata hati, sudah pasti senyuman itu akan membuatnya meleleh di tempat. Badar bilang, dia pernah menceritakan dirinya pada ibunya? Apa yang pria itu ceritakan? Bukan bentuk tubuh dan nafsu makannya, kan? Kalau saja Badar memang benar menceritakan itu, kaki Anjani masih kuat hingga saat ini untuk menginjak kaki Badar. Di tempat ini dan saat ini juga.
"Yang katanya manis, lucu dan baik hati itu, toh?" Widya–Sang Ibu, di usianya yang ke-50 tahun, dia masih ingat betul bagaimana putranya menceritakan poin-poin penting tentang perempuan yang dia ingin kenalkan. Tapi putranya juga harus tahu, ibunya juga punya poin-poin penting untuk kriteria menantu.
"Badar, ibu tahu kamu itu suka hal-hal lucu. Kamu suka dengan ..., siapa tadi? Anjani, kan?" Widya menegakkan punggungnya sembari menatap putra semata wayangnya, perhatiannya kemudian beralih pada wanita di samping putranya. "Kamu yakin itu rasa suka? Cinta? Kamu serius? Ibu enggak ngelarang kamu punya hubungan dengan Anjani. Ora, kok. Tapi kalau kamu mau ke jenjang yang lebih serius dengan Anjani, lebih baik pikir-pikir dulu. Baik kamu, juga Anjani. "
Anjani menelan ludahnya, rasanya lebih susah dibanding menelan obat. Hati kecilnya seperti sirine berbunyi, kapan dia keluar dan pulang? Telinga dan mata, juga pikirannya masih sadar seratus persen, bahwa ibu Mas Badar tidak menyukainya di pandangan pertama. Tidak perlu menyuruhnya berpikir dua kali bahkan berulang kali, Anjani sudah tahu apa permasalahan yang membuat ibu Mas Badar memutar otak dan matanya beberapa kali. Tubuh, serta wajahnya, itu permasalahannya.
Siapa yang tidak akan berkedip melihat bentuk tubuh dan wajahnya? Badannya gemuk, begitu juga wajahnya yang bulat. Jangankan orang seperti mereka, ketika ia interview kerja saja sudah makan hati dengan pertanyaan nyeleneh yang terlontar. Kedua matanya cukup belo, poninya menutupi keningnya yang sedikit lebar. Ah, Anjani yakin, tidak ada yang istimewa dengan fisiknya. Hanya saja dia akan merasa istimewa ketika sudah bisa menenangkan ponakan terkecilnya sewaktu menangis di balik tubuh berisinya. Selebihnya, Anjani merasa hanyalah buntalan lemak yang berjalan.
"Bu, Badar serius, Anjani orang baik, dia bisa melakukan hal apapun. Memasak, merawat anak kecil, dan hal lain. Anjani juga pintar. Aku–Bu, aku suka dengan Anjani sudah lama. Sejak pertama kali Anjani kos di kosan Budhe Sutami, " terang Badar, serius. Wajah lugu yang sering membuat Sri terpesona, kini dua kali lipat lebih mempesona. Dan hal paling membuat perut seperti diserbu ribuan kupu-kupu adalah mimik wajah itu hanya untuknya, untuk dan karena Anjani seorang.
Sejak Anjani duduk di bangku Sekolah Dasar, dia akan berlari mengadu pada ibunya karena teman-teman menyebalkan yang sering meledek badan gemuknya. Ketika beranjak dewasa hingga saat ini, perkataan semacam itu tak lagi sering ia masukkan hati. Neneknya pernah berkata, Anjani adalah cucu paling lucu dari sekian cucu neneknya. Apa itu masih berlaku untuk sekarang? Apa perlu Anjani berkata, Bu, saya ini cucu yang paling lucu bagi mbah saya, loh. Ibu jangan body shamming, ya. Entar nyesel, loh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
Narrativa generaleUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...