Sandyakala dan Jingga

297 38 8
                                    

WARNING!
*
Dilarang mengcopy sebagian atau seluruh isi cerita. Naskah sudah diterbitkan, memiliki hak cipta beserta terdaftar ISBN
*
*
*

Sebuah kepala menoleh ke kanan, detik kemudian menoleh ke kiri. Mengadahkan tangan seraya berdoa, lantas ia mengusap wajah untuk mengakhiri pertemuannya dengan Sang Maha Pencipta.

Saat ingin berbalik, tak sengaja iris hitam pekat itu melihat gadis di bagian belakang. Mukenah berwarna nude yang dikenakan mampu memancarkan warna kulit putih yang terlihat bening. Terdiam, memandang dalam keheningan panjang. Sampai akhirnya ia tersadar dan menundukkan pandangan.

'Astaghfirullah ... sadar Hema.' Ia mengelus dada bidangnya, berjalan keluar tanpa memandang lagi, berlalu dari musala kecil di kafe tempat ia dan tim berdiskusi masalah pekerjaan.

Menyibak rambut setengah basah yang agak panjang, lelaki tegap itu kembali ke perkumpulan timnya. Beberapa orang yang sepantaran umur dan juga berprofesi sama dengannya tengah asyik berbincang, gadis yang sempat ia lihat di musala tadi berjalan melewatinya. Duduk di meja depan yang masih tertinggal laptop dan beberapa tumpukkan buku di sana.

Seperti tak peduli pada riuh suasana kafe, gadis berbalut hijab cokelat itu asyik dengan layar pipih di depannya. Memakai headphone berwarna putih yang terletak di atas meja sebelumnya. Sesekali kepalanya menoleh, menatap jendela kaca yang ada di sebelah.

Terletak di lantai dua, Hema dan perkumpulannya berada pada meja paling belakang, selain meja yang lebih besar, letaknya cocok untuk sebuah diskusi panjang. Sedangkan, si gadis duduk tepat di depan meja mereka, sendiri, menikmati keheningan dengan alunan musik yang ia dengarkan.

Mata lelaki itu terus memandang, bahu kecil yang tertutup gamis sederhana, senada dengan hijabnya. Sesekali kepalanya memandang ke samping. Membuat lelaki itu bisa melihat dengan jelas, penegasan batang hidung kecilnya yang mancung, bulu mata panjang dan lentik, dagu yang terbelah di bawah naungan bibir sensual, dihiasi kumis tipis di atasnya.

"Cantik," lirih Hema tanpa sadar.

Membuat seluruh mata di meja bundar itu memandangnya heran. Sedang, lelaki yang ada di depannya sudah memasang wajah sangar dengan lipatan tangan di dada.

Sentuhan lembut di lengan Hema menyadarkan lamunan lelaki berkemeja abu-abu tersebut. Ia segera membenarkan posisi duduk saat menyadari tatapan lelaki yang ada di depannya.

"Fokus!" tekan lelaki berkulit hitam itu tegas.

"Siap! Maaf," jawab Hema tak kalah tegas.

Perkumpulan lelaki itu kembali masuk pada diskusi mereka, sampai azan Isya berkumandang. Menghentikan arahan yang diberikan sang atasan.

"Istirahat dan makanlah dulu," ucap sang atasan seraya merenggangkan badan.

"Siap, laksanakan!" serentak para lelaki itu, lalu mereka terkekeh. Melihat wajah sang atasan yang memerah karena kesal.

"Berapa kali aku bilang—"

"Aku shalat dulu," putus Hema saat melihat gadis itu juga bangkit dan berjalan ke arah musala kafe.

Beberapa teman Hema terkikik, melihat tingkah teman seprofesinya itu selalu berhasil membuat Klein—Atasan mereka—marah dan kesal.

"Ada apa dengan anak itu? Tak biasa dia meninggalkan makanannya demi bertemu Tuhannya?" tanya Klein bingung.

Lelaki yang ada di sana hanya menggeleng, saat jam istirahat, Klein adalah teman mereka, bukan lagi atasan yang harus dijawab setiap pertanyaannya.

***

Pena Cinta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang