Takdir

136 24 4
                                    

WARNING!
*
Dilarang mengcopy seluruh atau sebagian isi tanpa seizin penulis. Cerita sudah diterbitkan, memiliki hak cipta dan terdaftar di ISBN
*
*
*

Chelsea menatapi wajah Kalidha yang tengah tertidur di ranjang. Setelah Subuh gadis itu baru terlelap. Kakak, sekaligus satu-satunya keluarga yang dimiliki, telah mendekam di balik jeruji besi.

Menjual tembakau sejenis narkoba, atau lebih tepatnya ganja. Semalam sekawanan polisi menangkapnya beserta beberapa teman yang sering duduk di atas coran jembatan kali. Termasuk Egi, lelaki bersinglet yang menghadang Hema. Tanpa disadari oleh siapa pun. Egilah yang telah membawa mereka semua ke dalam jerat hukum.

Chelsea membuka laptopnya, memeriksa beberapa naskah yang dibuat sebelumnya. Memeriksa kembali, ia tahu bahwa lelaki di gang ini sebagian adalah pemakai.

Untuk itu dia menjadikannya riset naskah. Di dalam naskah tersebut, tak sengaja ia membuat mereka tertangkap oleh sang Intelijen.

'Kenapa? Naskah ini malah menjadi nyata?' gumamnya dalam hati.

Sejenak dia terdiam, pikirannya berperang. Sampai deringan dari ponsel menyadarkan lamunan itu. Jarinya mengusap layar benda pipih tersebut.

"Sea, naskahmu mana? Deadline sampai batas hari ini. Jangan bilang kamu belum rampungin."

"Sudah, em ... Re," panggil Chelsea lembut.

"Kenapa? Ada masalah?"

"Bagaimana kalau aku batalin keikutsertaan?" tanyanya ragu.

"Loh ... kenapa?" tanya gadis di seberang sana kaget.

"Nggak tau. Sepertinya naskah ini ... buruk."

Gadis bernama Tere itu menghela napas. "Yakin? Kirim saja dulu, banyak yang menantikan penamu, Sea."

Chelsea menggigit ujung jarinya, mata masih menatap tulisan di layar datarnya. Ragu, kenapa naskah ceritanya begitu ambigu?

"Sea," panggil Tere lagi.

"Ya, aku selesain endingnya, siang ini aku email."

"Gitu, dong. Jangan ngecewain redaksi. Apalagi fansmu."

Gadis berkumis tipis itu tersenyum. Jarinya mulai aktif mengetik di atas keyboard. Merubah beberapa alur di dalam naskahnya. Ponsel berwarna hitam di sebelah laptopnya bergetar. Cepat tangan itu menyambar, membuka pesan yang masuk ke dalam gawai.

"Aku melihatnya."

Deg. Seketika jantungnya berdegup, ada asa yang kembali menyapa harapnya.

"Di mana?" Cepat gerakan tangan itu membalas pesan tersebut.

"Bandung."

Seketika netranya melebar, tangannya bergetar. Satu air luruh dari iris berwarna hitam pekat miliknya.

"Bandung," lirihnya getir.

***

Mata menyisir sekeliling, ramai dan padat. Kini ia sedang berada di Bandara Husein Sastranegara, setelah memohon izin dengan banyak dalih. Akhirnya orang tuanya mengizinkan untuk datang ke kota Kembang ini sendiri.

Demi mengejar satu, asa yang pernah ditata serapi mungkin. Lebur bersama angan yang menghilang tanpa bayangan.

Tangan lentik itu mengetik dengan cepat, beberapa kali dia melihat ke area sekitar. Menghela napas, kenapa dia begitu bodoh? 

Rela datang ke kota asing ini hanya karena satu pesan yang bahkan tak pernah terbalas setelah pesan terakhir yang masuk tiga hari lalu.

Bibir mencebik kesal, ketika nomor yang dipanggil tidak bisa tersambung sama sekali.

Pena Cinta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang