Luka

99 19 2
                                    

WARNING!
*
Dilarang mengcopy sebagian atau seluruh isi cerita. Naskah sudah diterbitkan, memiliki hak cipta beserta terdaftar ISBN
*
*
*


Chelsea memandangi foto di layar desktopnya lamat-lamat. Memperhatikan garis wajah, mata, hidung, bibir, dan segala yang ada di dalam wajah pria yang pernah ia perjuangin sekuat tenaga itu.

Perlahan tangannya mengklik, mengubah tampilan desktop laptopnya dengan foto dirinya sendiri. Sudah genap setahun kepergian lelaki itu tanpa kabar. Kini ia memutuskan untuk melupakannya perlahan.

Chelsea menghela napas, pada akhirnya ia memilih menyerah pada cinta dan do'anya. Mungkin yang Hema katakan benar. Bahwa jodoh tak akan menjauh sekeras apa pun ia menghindar.

Akan tetapi, sudah dua minggu lelaki berambut panjang itu juga tak pernah datang lagi. Tak pernah menganggu, walau kadang diam-diam Chelsea melihat nomor WAnya. Sering kali sama-sama online, tetapi terlalu angkuh untuk memulai obrolan.

Kini ia merasa ada yang hilang. Entah itu bayangan Zildane yang perlahan ia lepaskan. Atau rasa di dalam hatinya yang mulai menyapa. Rindu.

Pada pemuda yang selalu menggombalinya itu. Melindungi diam-diam. Mencemaskan dan juga selalu memperhatikannya.

Gadis itu bangkit dari kursinya, membawa laptop ke teras depan. Sedikit mengubah suasana agar inspirasi hinggap pada pikirannya yang terus bercabang entah berapa banyak.

"Hema ke mana, ya? Kok, udah lama nggak nampak?" tanya Roy seraya meletakan segelas kopi di sebelah laptop Chelsea.

"Ya mana Sea tau, orang dia temen nongkrong, Papa."

"Kamu, sih. Kasar banget sama dia, sampai patah hidung anak orang. Mana ganteng gitu lagi."

Chelsea tertawa, kepalanya menggeleng pelan mengingat ulahnya pada lelaki tersebut. Namun, ia masih sabar menghadapi segala tingkah unik dirinya.

"Buaya, sih," sahut Chelsea geli.

"Nggak baik kasar-kasar begitu, Sea. Ish ... kamu itu anak gadis. Nggak laku nanti."

"Ih ... Papa do'anya jelek banget, sih?"

"Ya terus? Ada yang mau ditolak mentah-mentah. Malah nungguin yang nggak pasti, nunggu aja terus," sindir Roy seraya menyesap kopinya.

Seketika bibir gadis itu memanyun, melihat Roy dengan sedikit kesal.

"Pa."

"Hem."

"Sea mau nanya, deh."

"Nanya apa?"

"Hema dan Zildane itu sama-sama nggak paham agama, kan, ya. Kenapa Papa bisa sedekat itu sama Hema tapi Papa nggak bisa dekat sama Zildane?"

Roy menghela napas, ia menyandarkan punggung pada kursi.   

"Hema itu mualaf, Sea. Dia bukan datang dari agama yang sama. Dia buta dan dia tak tau arah. Ibarat kamu yang datang ke suatu daerah, kamu nggak tau tempat dan juga alamat. Jika kamu mau menuju ke suatu rumah, kamu pasti akan tersesat dulu 'kan sebelum sampai ke tujuan?"

Gadis itu terdiam, mendengarkan ucapan sang Papa yang sedang ia cerna.

"Biar kamu nggak tersesat kamu butuh apa? Pemandu jalan, tanya-tanya sama orang biar nyampe ke tujuan lebih cepat dan selamat." 

Roy menghela napasnya, melihat wajah sang gadis yang sedang menatapi dirinya.

"Begitulah Hema saat ini. Dia pendatang, dia butuh teman, butuh pemandu jalan, butuh seseorang yang memperkenalkan dia pada Allah. Biar apa yang sudah dia korbankan tidak menjadi sia-sia belaka. Untuk itu Papa menuntunnya, dia butuh dukungan karena sebagai pendatang, pasti banyak hal yang membuat dia kebingungan."

Pena Cinta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang