WARNING!
*
Dilarang mengcopy seluruh atau sebagian isi tanpa seizin penulis. Cerita sudah diterbitkan, memiliki hak cipta dan terdaftar di ISBN
*
*
*
Chelsea menarik hijabnya yang ada di atas kasur sebelum menerima panggilan video yang masuk ke dalam ponsel."Dari mana?" tanya Hema ketika panggilan itu teranngkat.
"Nggak dari mana-mana, kenapa nelpon?"
"Aku lagi di Truffle Box, kamu nggak ke sini? Biar aku jemput."
"Nggak, buat apa? Aku lagi nggak ada kerjaan," jawab Chelsea.
"Ya, mana tau ingin menemani calon suami diskusi misalnya," goda Hema. Akhirnya sisi buaya itu terlihat kembali.
Chelsea terkekeh, terlebih saat mendengar riuh teriakan teman-teman Hema yang sedang menggodanya.
"Bukannya itu diskusi rahasia negara, ya? Telinga sendiri aja nggak boleh dengar, apa lagi telinga orang lain?"
"Wuih ... mantap! Mantap!" teriakan itu kembali terdengar. Lalu senyap, bersamaan dengan suara dehemen seorang pria.
Seketika panggilan itu berakhir, Chelsea tertawa dan menggelengkan kepala. Mata teralih pada cincin yang saat ini melingkari jari. Memang belum resmi, tetapi rasa hati sudah seutuhnya termiliki.
"Sea," panggilan itu mengalihkan perhatian Chelsea.
Chelsea segera turun dan menemui sang Mama yang masih asyik pada masakannya.
"Tolong belikan terigu di mini market depan. Sekalian cokelat batang ya, kuenya udah masuk panggangan, Mama nggak bisa tinggal."
Chelsea mengangguk, kembali ke dalam kamar dan mengambil sebuah selendang. Hanya mengaitkannya dengan jarum di bawah dagu, langkahnya berjalan menuju arah depan gang.
Tak jauh dari gang, Chelsea memasuki sebuah mini market yang tidak terlalu besar. Setelah mengambil pesanan sang Mama, langkahnnya memutari rak-rak snack. Saat ingin meraih sebuah camilan, tangannya tersentuh oleh jemari seorang pria.
Chelsea menarik tangannya, lalu bibirnya tersenyum dan mengalah.
"Mbak ambil saja," ucap pria itu ikut mengalah.
"Buat Masnya aja, nggak apa-apa."
Ketika ingin pergi, sebuah kepulan asap terarah pada wajah cantiknya. Gadis itu melirik tak suka, mengibaskan tangan agar asap putih itu menghilang.
"Maaf Mbak terganggu, ya, sama asapnya. Ini, tutupi saja pakai sapu tangan." Ramah lelaki itu menyodorkan sebuah kain persegi.
Chelsea menggeleng, menolak dengan membentangkan telapak tangan. Pria itu malah menarik tangan Chelsea dan menyerahkan begitu saja. Kembali kepulan asap mengenai wajahnya.
Refleks, Chelsea menutupi hidungnya, menghirup udara melalui sapu tangan. Lalu mata itu terpejam, bersama dengan jatuhnya badan ke dalam dekapan sang pria tak dikenal.
***
Dua jam sudah Santi mondar-mandir di teras rumah. Menantikan sang suami tiba, jarinya terus teremas. Cemas dan takut.
Ia langsung berlari menyusuli sang suami ketika tubuh tua itu hadir di depan halaman.
"Pa, gimana? Chelsea ada?"
"Nggak ada, Ma. Pihak mini market juga nggak tau soal ciri-ciri dia."
Santi mendesis, ia terus meremas jemarinya, bingung.
"Ini sudah semakin malam, Pa. Hema juga nggak jawab telepon. Kita harus bagaimana?" tanya Santi bingung.
Roy mendesah panjang, dia pun bingung mencarinya ke mana lagi. Kedua ponselnya tertinggal, sementara anak gadisnya tak kunjung pulang.
Langkah tua itu berjalan memasuki kamar Chelsea, mengecek kedua ponselnya, mencari jejak kepergian gadis tersebut.
Tengah sibuk pada ponsel anaknya, nada dari gawai milik Roy berdering. Terlihat nomor asing yang Roy salin dari ponsel anak gadisnya tadi.
"Assalamualaikum, maaf ini siapa?" Sopan lelaki itu bertanya.
"Waalaikum salam, Nak. Ini saya, Roy."
"Maaf, Pak. Saya lagi diskusi dengan tim tadi. Ada apa, ya?"
"Maaf saya menganggu. Begini, tadi sehabis maghrib Chelsea keluar ke mini market."
"Lalu?" tanya Hema bingung.
"Dia sampai sekarang belum pulang, Nak."
"Tenang dulu, Pak. Mungkin dia ketemu temannya."
"Ponselnya dua-dua ditinggal, Nak. Dan saya sudah mencari ke mini market. Dia nggak ada."
Hema menelan salivanya, pikirannya mulai menangkap sesuatu yang mungkin akan terjadi buruk.
"Bisa saya minta tolong Nak Hema buat bantu carikan?"
Hema melirik ke arah Klein dan teman-temannya. Ia menyandarkan punggung pada kursi.
"Saya belum bisa datang ke sana, Pak. Saya masih diskusi dengan tim."
Terdengar suara helaan napas panjang dari seberang sana. Kini rasa cemas mulai menggelayuti diri. Hema menjauhkan ponselnya.
"Komandan," panggilnya lembut. Lelaki berkulit hitam itu melirik.
"Bisa aku minta izin meninggalkan diskusi?"
"Ada apa, Hema?"
"Chelsea hilang."
Klein melirik ke arah pemuda yang lainnya.
"Yang lainnya, kita istirahat 30 menit. Izin diberikan, 30 menit."
Hema mengangguk, ia meraih kunci mobilnya.
"Pras," panggilnya lembut.
"Ya."
"Boleh kupinjam motormu? Terlalu lambat jika aku naik mobil."
Lelaki bernama Pras itu melemparkan kunci motornya. Sigap tangan Hema menangkap dan berlari menuju lantai bawah.
Honda CBR melaju kencang membelah jalanan malam. Menarik gas sekencang yang ia bisa. Membelokkan ke mini market daerah rumah Chelsea.
Hema mengelurkan tanda pengenalnya ketika memasuki mini market.
"Bisa tolong cek CCTV sekitar setengah tujuh malam tadi?" tanya Hema tanpa basa-basi.
Gadis penjaganya mengangguk, menuntun Hema menuju ruang rekaman. Memperhatikan setiap kejadian, rekaman itu terhenti ketika Chelsea pingsang di pelukan seorang pria tak dikenal.
Hema mengusap wajahnya, rahangnya mengeras dengan kepalan tangan yang mengencang. Memperlihatkan urat di punggung tangan.
Lelaki berambut panjang itu mengeluarkan ponsel, menelpon seseorang di seberang sana.
"Ya, Hema." Suara tegas seseorang menyapanya.
"Karen, ada penculikkan yang harus ditangani."
*
Aku telah membawamu ke dalam dekapan bahaya. Aku kalap, bagaimana jika mereka menjadikanmu sandera dan akhirnya membawamu pergi dariku, Chelsea?
•
•
Hema Nuel Philip
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena Cinta [END]
RomansaSeorang penulis muda bertemu dengan lelaki asing yang selalu menggombalinya. Berawal dari kata kagum, yang berujung pada keinginan untuk memiliki.