Demi Keadaan

102 19 7
                                    

WARNING!
*
Dilarang mengcopy seluruh atau sebagian isi tanpa seizin penulis. Cerita sudah diterbitkan, memiliki hak cipta dan terdaftar di ISBN
*
*
*

Tetesan cairan infus mengikuti detakan jarum jam di dinding bercat putih tersebut. Gadis yang tengah terbaring dengan plester di dagu itu menggeleng. Kedua matanya masih terpejam, dengan linangan air yang terus keluar dari matanya.

Bibirnya terus meracau, dua hari tidak sadarkan diri. Chelsea masih terbaring dengan segala kenangan pahit malam itu.

"Enggak! Hema, Hema!" teriaknya dalam tidur.

"Aku di sini, Sea. Jangan takut, ada aku." Hema mengenggam jemari putih itu, kuat sekali genggaman gadis itu, sedikit gemetar karena trauma itu sedang terputar.

Terdiam beberapa saat, lalu genggamannya merenggang. Hema menghela napas. Menaikan selimut sampai ke dada.

Semenjak kejadian itu, dia tidak pernah meninggalkan gadis ini. Mau tidak mau, sang atasan memberikan izin cuti untuk istirahat dan kesembuhannya. Tak bisa dielaki, lelaki itu juga terluka banyak karena insiden tersebut.

Namun, tetap mendapatkan hukuman dan sanksi karena telah melakukan tindakan di luar perintah.

Mata elangnya terus memandangi wajah yang tengah tertidur itu. Ada rasa tak tega, sedih, juga entah. Bagaimana juga, dialah yang membawa Chelsea ke dalam masalah ini.

Bersalah, dengan keterlibatan Chelsea yang tidak tahu apa-apa. Malah berimbas pada derita dan luka.

Sebuah tepukan lembut di bahu kekar Hema mengalihkan pandangannya. Lelaki yang lebih tua itu tersenyum, ia menarik kursi dan duduk di sebelah Hema.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa menjaga Chelsea dengan baik,” sesalnya.

Roy tersenyum, lantas kepala itu menggeleng pelan.

"Terkadang dalam hidup kita memang harus mengalami satu atau dua kali kejadian pahit. Bukan untuk menyakiti, tetapi untuk menempah agar mental dalam diri lebih kuat lagi."

Hema tersenyum seraya menganggukkan kepalanya.

"Saya gagal menjaganya, mungkin saya juga akan menyakiti hatinya. Maafkan saya, Pak. Tetapi saya tidak bisa mengambil risiko lagi. Jika saya memaksa untuk menikahi Chelsea. Mungkin, kejadian ini akan sering terjadi padanya."

Roy terdiam, terdengar helaan napasnya yang sangat berat. Kepala itu menoleh, melihat sang putri yang masih lelap.

"Jadi apa rencanamu?" tanya Roy lagi.

Hema menunduk, berat ia menelan saliva. "Mungkin, saya akan menjauh darinya."

Hening. Tak ada reaksi apa pun yang Roy tunjukkan. Sedangkan Hema masih tertunduk, sadar jika saat ini ia hanyalah seorang pecundang.

"Kamu ingin pergi?" lirih pertanyaan itu membuat kepala Hema mendongak.

Gadis itu telah membuka matanya, kesusahan badan kurus itu ingin bangkit. Sigap, Hema membantu Chelsea untuk duduk di atas kasurnya.

Mata bulatnya memandangi wajah Hema nanar.

"Kamu akan pergi?" tanyanya lagi.

Hema hanya terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan itu. Pandangan matanya beralih pada Roy di sebelah.

Roy mengalah, ia memilih keluar agar Hema leluasa menyampaikan niatnya.

"Hema," panggil Chelsea.

Lelaki itu bergeming, ia menggeser kursi dan duduk di sisi Chelsea. Memandangi wajah pucat gadis itu lekat dan dalam.

Pena Cinta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang