WARNING!
*
Dilarang mengcopy seluruh atau sebagian isi tanpa seizin penulis. Cerita sudah diterbitkan, memiliki hak cipta dan terdaftar di ISBN
*
*
*Hema menjatuhkan kepala di atas jok mobil. Perih, matanya terasa sangat berat karena telah tertahan selama dua hari untuk mengintai.
Pikirannya terus melayang, mengingat segala kenangan. Betapa ia buta selama ini. Bahkan setelah menikah ia tidak paham apa tugasnya sebagai suami menurut Islam. Rasa berdosa ada, saat ia merasa bahwa semua agama sama saja. Mengajarkan segala kebaikan, kini dia mulai memahami. Di antara yang baik, masih ada yang lebih baik.
"Woi!" Ketukan dari pintu mobil memalingkan pandangan Hema.
Terlihat dua orang teman seprofesinya sedang berdiri di sebelah pintu mobil.
"Udah, gantian jaga sama kita," ucap Rendra.
"Kenapa nggak dari semalam, sih? Berat kali mata gua udahan." Lelaki itu menarik tuas mobil, tanpa basa-basi ia menjalankan mobilnya menjelajahi jalan raya.
Cepat dan juga kencang, rasanya ingin segera membenamkan badan bersama kasur dan bantal. Menenangkan pikiran yang terus melambung menembus ke ... entah.
Tinnn!
Secepatnya ia memutar kemudi, tak terlihat oleh matanya ada truk yang sedang melintas. Hema menarik napas dalam, memarkirkan mobil di halaman rumah orang. Pelan, kepalanya tertumpuh pada jok, menenangkan debaran jantung yang berdegup sangat kencang.
Kejadian tadi masih membuatnya lemas. Hampir saja ia kehilangan nyawa. Pikirannya bercabang, entah ke mana.
Perbincangannya dengan Roy tiga hari lalu masih terus terngiang di dalam ingatan. Siapa Allah? Siapa Rasul Allah? Selama tiga tahun menjejaki Islam, dia tidak mengenal Tuhan dan Rasulnya lebih dari sekadar namanya saja.
Tangan membuka laci dashboard mobil, masih terselip sebuah foto di sana, juga sebuah kalung yang selama ini tergantung di lehernya.
Tangan kekar itu meraih dua benda tersebut, menatapi benda itu lamat-lamat. Antara foto gadis yang pernah melukainya dulu, dan lambang yang telah ia sakiti saat ini.
Abby dan kalung rosario miliknya, dua hal yang terlepas dari genggaman. Padahal dulu dia dengan rasa bangga memakai kalung itu sebagai identitasnya.
Lalu, mata teralih pada buku yang bertuliskan nama sang gadis pujaan saat ini. Pelan jarinya membuka lembaran itu, lalu membaca jejak pena yang dirangkai sedemikian indah. Sebuah desiran menyapa di dalam dada. Ada sesuatu yang gadis itu tuangkan.
Tak sekadar khayalan, tetapi juga ilmu tentang keimanan. Hema semakin masuk ke dalam dunia yang Chelsea ciptakan, membaca setiap goresan pena yang dia susun sedemikian indah. Satu kalimat yang menembus benaknya.
'Karena Allah tak mungkin mempertemukan tanpa ada tujuan. Entah itu sebagai ujian atau sebagai pelajaran. Kita sebagai hamba hanya bisa melakoni sebaik mungkin. Entah itu peran, pun kewajiban'
Bibir tipis itu ditarik hingga membentuk sebuah senyuman yang sangat indah. Terngiang kembali di telinganya tentang pelajaran yang Roy sampaikan tiga hari lalu.
Bahwa sebagai anak, lelaki tetaplah menjadi milik ibunya. Walau sudah tak seiman, bukan berarti hubungan itu berakhir.
Tetaplah dijaga, tunjukkan pada mereka bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi. Namun, tetap pada batasan yang tak bisa dilanggar.
Hema menghela napas, ia menghidupkan ponsel perlahan. Beberapa pesan masuk ke dalam gawai. Kini, jarinya tergerak untuk menghubungi. Ada rindu yang berdesir di sini, hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena Cinta [END]
RomanceSeorang penulis muda bertemu dengan lelaki asing yang selalu menggombalinya. Berawal dari kata kagum, yang berujung pada keinginan untuk memiliki.