Pertentangan

108 18 2
                                    

WARNING!
*
Dilarang mengcopy seluruh atau sebagian isi tanpa seizin penulis. Cerita sudah diterbitkan, memiliki hak cipta dan terdaftar di ISBN
*
*
*

Zildane menjatuhkan sebatang rokok dari tangannya, menginjak kuat saat melihat Hema keluar dari gang rumah Chelsea.

"Apa kau merasa menang sekarang?" tanya Zildane ketus.

Pemuda berdarah Nias itu hanya menggeleng, ia melanjutkan langkahnya menuju mobil Fortuner putih yang terparkir di belakang mobil sport hitam legam milik Zildane.

Sebuah tangan menahan bahu Hema, lelaki itu melirik. Melihat Zildane yang ada di depannya dengan bokong yang tertumpu pada kap depan mobil.

"Lepaskan Chelsea. Maka aku akan melepaskanmu juga."

Hema tersenyum sinis, ia berjalan mendekati Zildane dan berbisik lembut di telinganya.

"Kerjaanmu hanya bisa mengancam, bukan? Hei, pecundang ... bangunlah! Terima kenyataan itu."

Zildane mengepalkan tangannya dengan kuat. Gemelatuk giginya mengeras. Tajam tatapan matanya menantang Hema.

"Dengar! Chelsea itu milikku. Sampai kapanpun dia akan tetap milikku, Keparat!"

Satu tinjuan mengarah ke arah wajah. Lebih dulu kepalannya tertahan oleh telapak tangan Hema. Hema melirik sinis, ia mengempaskan kepalan itu dengan kuat.

"Aku tak punya urusan denganmu. Chelsea punya hak untuk memilih. Terimalah jika dia tidak memilihmu."

Hema berniat akan pergi, tangannya kembali menangkap tinjuan Zildane yang dilayangkan dari arah belakang. Lelaki itu memutar lengan Zildane, menguncinya dari belakang.

"Dengar, aku tak ingin ribut di sini karena aku menghormati Pak Roy. Tetapi jika kau terus menantangku, tak akan kulepaskan kau di luar sana."

Hema mengempaskan badan Zildane ke tanah. Tak ingin kalah, lelaki itu kembali bangkit.

Bugh!

Sebuah tendangan menghantam dada bidang itu. Hema mundur beberapa langkah. Sampai punggung kekarnya terempas ke pintu mobil Fortuner miliknya.

Tak menyiakan kesempatan, Zildane mencengkeram kerah kemeja Hema. Pukulan kembali lelaki itu dapatkan di wajah, mengalirkan darah dari sudut pelipis matanya.

Baru akan melawan, teriakan dari ujung gang menghentikan gerakan Hema.

"Apa-apaan kalian? Ha?" teriak Chelsea ketus.

Dua lelaki itu terdiam, Zildane melepaskan cengkeraman tangannya.

"Sea, ini—" Baru akan menjelaskan, bibir lelaki itu lebih dulu bungkam saat melihat gadis berhijab tersebut berjalan mendekati Hema.

Jari lentiknya ingin menyentuh pelipis yang terluka. Namun, lebih dulu terhenti dengan bibir bawah yang digigit pelan.

"Sakit?" tanyanya cemas. Tampak jelas dari alis mata yang saling bertaut.

"Sedikit," jawab Hema seraya tersenyum lembut. Matanya melirik, mengejek Zildane yang masih terpaku di dekat mobilnya.

"Kita obati dulu, ya," ajaknya.

Hema mengangguk, Chelsea menatap Zildane dengan tajam. Menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menantang.

"Dane, bukan salah dia. Aku yang meninggalkanmu. Jika mau pukul, pukul aku saja."

Zildane menggeleng, ia melihat Hema yang tersenyum licik di belakang Chelsea.

"Sea, kamu salah paham. Dia ... dia tak sebaik yang kamu kira."

Pena Cinta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang