WARNING!
*
Dilarang mengcopy sebagian atau seluruh isi cerita. Naskah sudah diterbitkan, memiliki hak cipta beserta terdaftar ISBN
*
*
*Chelsea membuka lebar daun pintu rumahnya. Masuk dengan sedikit tergesa.
"Assalamualaikum," ucapnya berjalan melewati Roy yang tengah duduk di ruang tamu.
"Waalaikum salam. Nggak jadi keluar, Sea?" tanya Roy, bingung melihat tingkah anak gadisnya.
"Nggak! Temen nongkrong Papa buat Sea bete!" jawabnya melewati Roy dan berlalu memasuki kamarnya.
Lelaki tua itu beralih menatap ke ambang pintu. Ada Hema yang berdiri di sana seraya menutup payungnya. Roy menghela napas, lalu ia bangkit mendekati pemuda berambut panjang tersebut.
"Hema," panggilnya lembut.
"Pak, maaf," sesalnya.
"Duduklah dulu, berhenti hujan baru pulang."
Hema mengangguk, duduk di kursi depan bersama dengan Roy. Lelaki tua itu memandangi wajah Hema lekat, sedangkan lelaki yang dipandangi hanya menundukkan wajahnya.
"Ada apa? Kalian bertengkar?" tanya Roy lembut.
Hema tersenyum lembut dan menggeleng.
"Chelsea marah sama saya, Pak?"
"Karena?"
"Saya mengajak dia ta’aruf, dan dia menolak."
"Nolak, ya, nolak aja, kenapa mesti pake emosi segala. Ck ... anak itu."
"Bukan salah Chelsea, saya yang menyinggung soal pacarnya. Dan dia marah karena saya mengatakan lelaki itu telah mencampakkannya."
Roy kembali menghela napas, kini ia menyandarkan punggung pada kursi.
"Lalu apa rencanamu?" tanya Roy lagi.
"Kalau Anda masih berkenan mengajari saya. Saya masih ingin menggali ilmu lewat Anda, Pak."
"InsyaAllah, Hema."
Hening. Seketika suasana menjadi lebih dingin. Lelaki berambut panjang itu menatapi buliran air yang turun dari langit. Sebenarnya hatinya sakit, tetapi ia berusaha untuk meredamnya saja. Ada yang perlu ia gali, dan itu tak hanya soal cinta di hati Chelsea. Iman.
"Apa rasanya ditolak sama Chelsea?" tanya Roy tiba-tiba.
"Sakit, Pak."
Roy tertawa, ia menepuk bahu kekar itu lembut.
"Lalu mengapa masih mau belajar sama saya? Kamu nggak sakit hati sama anak gadis saya."
"Niat saya belajar sama Anda bukan untuk merebut hati Chelsea, Pak. Murni, saya memang ingin belajar memahami Islam dan memperkuat iman. Karena semenjak belajar dengan Anda, saya merasa semakin tenang dan damai. Anda benar, Islam itu nyaman."
"Masya Allah. Alhamdulillah, Hema. Semoga imanmu kukuh, ya,"
"Amin, Pak. Dan untuk masalah saya dan Chelsea. Jika benar seperti apa yang Chelsea tulis dalam bukunya. Bahwa Allah tidak mempertemukan tanpa tujuan. Walau tujuannya tidak untuk bersatu, tapi ada pelajaran yang bisa saya ambil dari pertemuan itu. Dan saya mensyukuri, ada Anda di saat iman saya berada di ambang kebimbangan."
"Alhamdulillah, kamu belajar dengan cepat, Hema. Untuk masalah Chelsea, bisa saja ini ujian baru buatmu. Tetap serahkan semuanya pada Allah. Dan jika kamu memang mau menikahi Chelsea untuk membina rumah tangga. Niatkan juga karena Ridha Allah. InsyaAllah, Nak. Jika tidak bersama, Dia memiliki obat kecewa yang paling mujarab untukmu."
"InsyaAllah, Pak. Saya masih berjuang untuk Chelsea. Bukan dengan memaksanya, tapi berusaha mengetuk hatinya."
Roy tersenyum dan mengangguk. "Ketuklah pintu langit lewat doa-doamu, Hema. Dekati Dia Sang Pemilik Hati, sebelum kamu mengetuk pintu hati makhluk-Nya. Percayalah, Dia mampu membuat apa pun yang tidak mungkin, menjadi mungkin. Tak sulit bagi-Nya. Dan untukmu, harus banyak sabar dalam menjalaninya."
Roy mendekat ke wajah Hema dan berbisik lembut di telinganya. "Untuk menakhlukan dia yang bar-bar dan buta oleh cinta masa lalunya."
Hema terkekeh mendengar ucapan Roy. Pelan ia mengangguk. Sedang, ada telinga yang mendengar seluruh percakapan dua lelaki tersebut.
Chelsea membalikan badannya, menempelkan kepala di dinding bercat cokelat itu. Sedikit rasa sesal mulai memasuki kalbunya. Mengingat seberapa kasar ia memperlakukan Hema selama ini. Namun, lelaki itu tak pernah marah atau membahasnya.
Pelan, badan gadis itu melorot ke bawah. Melipat kaki dengan mata menatap kosong ke langit-langit rumah.
"Ya Allah, benarkah doa-doaku Engkau jawab melalui pemuda itu? Mungkinkah aku dan Zildane memang tidak ditakdirkan bersatu?" tanyanya lirih.
Gelak tawa kedua lelaki itu pecah, larut dalam perbincangan yang membahas tentang entah.
Chelsea menghela napas, mengingat selama dua tahun ia mendampingi Zildane untuk berubah. Namun, sang Papa tak pernah sedekat itu dengan Zildane. Terlebih, banyak lambang dosa yang tertinggal di kulit Zildane dan itu membuat Roy tak meyukai lelaki tersebut.
Akan tetapi, demi anak gadisnya Roy rela mengalah. Hanya bisa mengingatkan dan mencoba berbicara dengan Zildane untuk tidak mengecewakan hati anak gadisnya.
Nyatanya, lelaki itu malah menyakiti putrinya. Meninggalkan sang anak ketika Chelsea telah jatuh terlalu dalam ke buaian cintanya. Yang lebih menyakitkan lagi adalah, ketika sang anak rela mengejar lelaki yang telah melukai hatinya tersebut.
Perlahan satu buliran air melintasi pipi putih Chelsea. Ia juga lelah, mengharapkan asa yang tak kunjung tiba. Bagian masa lalunya yang masih bersisa. Membuat kakinya kian gamang untuk melangkah.
Entah itu untuk mencari jejaknya kembali, atau pergi meninggalkan kepingan hati yang telah terluka.
Sampai kapan? Pertanyaan itu terus merasuk ke dalam logika. Hatinya telah lelah, mengapa ia terus memaksa.
"Zildane, sudah hampir setahun. Jika setelah genap setahun kamu tak kembali. Bolehkah aku meninggalkanmu? Meninggalkan kenangan kita dan juga kisah kita?"
Gadis itu mendekap kedua kakinya, meletakan kepala di atasnya.
"Aku lelah, Dane. Lelah berjuang sendiri demi semunya bayangan dirimu. Aku ingin meraihmu, sayang aku tak lagi mampu. Aku ingin melepaskanmu. Relakah kamu kehilanganku?"
*
Aku terlalu naif dalam mencinta, sampai aku lupa bahwa Semesta memiliki sejuta cara untuk memisahkan sebuah kisah. Aku masih ingin melihatmu dalam pandanganku meski kita tak bersama, setidaknya senyummu terukir indah karena bahagia yang menyapa. Itu saja sudah cukup untuk menggantikan segala luka yang selama ini kupupuk.
○
○
Chelsea Arera
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena Cinta [END]
RomanceSeorang penulis muda bertemu dengan lelaki asing yang selalu menggombalinya. Berawal dari kata kagum, yang berujung pada keinginan untuk memiliki.