prolog

289 107 46
                                    

Vote, kritik, dan saran sangat di perlukan.

Happy reading!!!

Aku sedang bermain di halaman rumah bersama ayah dan ibu. Cuaca yang begitu cerah tiba-tiba saja berubah mendung. Dengan sedikit terburu-buru Ibu pergi untuk mengangkat jemuran yang berada di belakang rumah dan meninggalkan aku bersama Ayah yang berprofesi sebagai seorang tentara.

Tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi. Ayah sedikit menjauh untuk mengangkat, sebenarnya Ayah sudah berpesan untuk tetap berada di ayunan dan jangan pergi kemana-mana, tapi aku tidak menghiraukannya ketika melihat seekor kupu-kupu berwarna sangat cantik lewat.

Aku mengikutinya sampai di hutan yang tak lumayan jauh dari rumah. Penduduk setempat memberi nama hutan itu Hutan Bahari.

Sebenarnya aku sudah ingin pulang dan meninggalkan kupu-kupu yang sudah masuk ke dalam Hutan Bahari. Namun, tiba-tiba saja aku terpikirkan jika di dalam hutan mungkin saja akan terdapat banyak kupu-kupu berwarna-warni, dengan rasa senang membayangkan di kelilingi oleh ratusan kupu-kupu, aku masuk lebih dalam ke Hutan Bahari.

Awan bertambah mendung dan hutan bertambah gelap, aku mulai takut dan memutuskan untuk pulang, tetapi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, aku tersesat.

Tetesan air hujan mulai turun dan aku kesulitan mencari tempat berteduh, aku memutuskan untuk terus berjalan sambil berdoa agar bisa keluar dari Hutan Bahari.

Hujan semakin deras di sertakan kilatan petir sehingga membuatku ketakutan, entah sudah berapa kali aku berteriak meminta tolong tapi tidak ada sahutan dari siapapun, hanya terdengar bunyi derasnya hujan dan suara hewan-hewan yang ada di hutan.

Kini aku sudah lelah, berjam-jam terus berjalan menyusuri hutan bahari untuk mencari jalan keluar.

Aku yang masih berumur tujuh tahun itu tersimpuh lemah di atas rerumputan yang basah akibat hujan, tiba-tiba saja aku melihat asap di balik pepohonan. Aku sempat kebingungan dan takut melihat asap, tapi karena keadaan yang begitu mendesak aku memberanikan diri untuk mendekati, setalah semakin dekat dengan asal asap aku menemukan dari mana asap itu berasal. Asap itu berasal dari dalam sebuah terowongan yang ukuranya cukup untuk orang dewasa lewati.

Aku yakin mungkin di dalam terowongan itu ada seseorang yang sedang berteduh dari hujan dan menyalakan api, aku memberanikan diri untuk masuk ke dalam terowongan.

Aku terus masuk ke dalam terowongan tapi tidak ada siapapun di sana hanya terowongan yang menyeramkan, saat ingin memutuskan kembali tiba-tiba terdengar suara air yang sedang mengalir deras beserta cahaya. Padahal tadi tidak ada apa-apa di sana, hanya gelap. Dengan ragu-ragu aku berjalan menuju cahaya itu dan sampai di ujung terowongan.

Setelah sampai di ujung terowongan betapa terkejutnya aku melihat sebuah bentangan kebun apel yang luas serta para petani apel yang sibuk menyiram. Ada yang berbeda dari mereka, para petani apel itu tidak menyiram dengan menggunakan alat, mereka hanya menggerakkan tangan mereka ke arah air yang ada di sungai untuk naik ke udara, air itu seperti gelembung raksasa dan pecah ketika para petani menggerakkan tangannya dengan lihainya, berubah menjadi tetesan air hujan yang siap untuk menyiram tanaman dengan merata.

Aku terkagum melihat hal itu, sehingga tidak sengaja menabrak seorang pria tua berambut keriting panjang berwarna hitam, rambutnya juga sedikit beruban dengan menggunakan topi berwarna hitam.

"Anak kecil seharusnya kau berhati-hati," ucapnya lembut sambil mengambil buku-buku miliknya yang berjatuhan akibat tidak sengaja aku tabrak.

"Di mana orang tuamu?" tanyanya dengan nada yang lembut.

Aku hanya menggeleng takut sambil menunjuk terowongan yang baru saja di lewati.

Wajahnya langsung berubah terkejut "Kau dari sana?" tanyanya memastikan kembali.

"Iya," sahutku pelan dengan tubuh yang menggigil karena dingin akibat kehujanan.

Laki-laki itu lantas membawaku ke suatu rumah kayu yang sangat mewah. Rumah itu benar-benar aneh, biasanya rumah berbentuk kotak atau persegi panjang, tapi lain dengan rumah yang aku lihat sekarang, berbentuk setengah lingkaran.

Setelah aku masuk ke dalam rumah, ternyata bukan hanya bentuk rumahnya yang aneh, tetapi lemarinya dan sofa juga berbentuk setengah lingkaran. Bahkan pintu kamar di sana yang berbentuk setengah lingkaran dengan ukiran bunga yang sangat indah.

Ia memberikanku selimut dan secangkir teh hangat.

"Kenapa kau ada di sini?" tanyanya lembut.

Aku mengeratkan selimut yang ada di tubuhku. "Aku tersesat."

"Kau tersesat? Tapi tidak sembarang orang yang bisa masuk ke sini," gumamnya pelan tapi masih bisa di dengar.

"Anak kecil bisa aku pegang tanganmu," pintanya.

Tanpa menunggu lama aku langsung mengulurkan tangan. Ia memegang tanganku dengan lembut dan menutup matanya.

Beberapa menit kemudian ia membuka matanya langsung menatap panik, dan menyuruhku untuk pergi. Aku yang kebingungan hanya bisa kembali menatapnya tidak bergerak dari tempatku berada.

"Kau harus keluar," ucapnya dengan suara lantang membuat aku terkejut.

Pria tua berambut hitam dengan sedikit uban mengangkat tubuhku yang ringan dan menutupi wajahku dengan selimut.

Dengan berlari sekuat tenaga ia menuju ke arah terowongan.

Aku sempat memberontak tapi ia tidak peduli dan hanya fokus berlari. Kini kami sampai di depan terowongan yang barusan aku lewati, dan akhirnya menurunkan ku.

"Siapa namamu?" tanyanya memegang bahu lembut sambil mengambil selimut yang sedari tadi di lilitkan di tubuhku.

"Clara Oktavia," jawabku

Saat itu dia mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti. "Clara ingat kata-kataku jangan takut menghadapinya, mereka akan senang melihatmu dalam keadaan yang terpuruk,dan ingat ini saat kau bingung biarkan hatimu yang bicara. Sekarang kembalilah orang tuamu pasti menemukanmu."

Aku yang kebingungan dengan ucapannya hanya bisa menuruti dan masuk ke dalam terowongan.

Tiba-tiba aku kembali di tempat semula, yaitu Hutan Bahari. Kini hujan tidak lagi deras hanya rintik-rintik. Dari kejauhan aku melihat Ayah dan Ibu sedang berlari ke arahku berdiri.

Tiba-tiba saja kepalaku pusing dan aku jatuh pingsan.

Aku bangun di rumah sakit setelah lima jam pingsan. Di sana aku juga mengatakan semua hal yang terjadi padaku saat di Hutan Bahari kepada Ayah, Ibu, dan Dokter yang juga ada di sana mendengarkan cerita. Tapi Dokter itu bilang hanya sebuah halusinasi, karena saat itu aku terlalu ketakutan sehingga muncul sebuah halusinasi. Ibu hanya mengangguk mengiyakan apa yang di ucapkan Dokter dengan wajah khawatirnya.

Kini aku menatap ke Ayah, menanyakan apa ia percaya dengan ceritaku. Ayah diam sejenak lalu duduk di samping ranjang rumah sakit dan memelukku sambil mengatakan semua yang ku alami di Hutan Bahari itu adalah mimpi.

Apakah itu nyata atau hanya sebuah halusinasi?

Bersambung...

Di Antara Ruang. [Season 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang