Malam ini Haechan kembali berkutik dengan beberapa alat alat kebersihan yang digenggamnya.
Atas permintaan sang kakak yang begitu perfeksionis akan kebersihan yang juga berprofesi sebagai dokter, ia ingin bahwa seluruh ruang utama dalam rumah ini harus bersih, mengkilat, tidak berdebu sedikitpun.
Haechan menurut menurut saja, ia pikir juga tidak ada salahnya, selama ini ia jarang beberes rumah.
Meskipun hari ini Haechan merasa sangat pegal dan lelah oleh kegiatan sekolah dari pagi hingga menjelang malam.
Sore sepulang sekolah tadi adalah jadwal ekstrakurikuler basketnya, dan kebetulan hari ini mereka melakukan latihan fisik dan juga sparing bersama sekolah sebelah. Jadi, sangat melelahkan memang.
Di tengah asyiknya kegiatan Haechan, tiba-tiba ia mendengar pi tu utama rumahnya terbuka, mungkin itu hyung, pikirnya.
Namun asumsinya terpatahkan ketika sebuah praduga buruk terpikirkan, sejak tadi ia tidak mendengar langkah dari dalam rumah, tapi setelah pintu terbuka, ia mulai merasakan ada langkah yang semakin mendekat, bersamaan dengan suara gesekan benda dengan lantai rumahnya.
Seketika prasangka buruk menghampiri pikirannya.
"Apakah itu rampok?" Tanyanya entah pada siapa.
Dengan sigap dirinya mengambil tongkat baseball yang terletak di sebelah meja, dan membawanya di atas pundak, bersiap untuk memukuk apa saja yang akan dilihatnya nanti.
Langkah itu semakin mendekat ke arahnya, ia eratkan pula cengkeraman nya pada tongkat yang ia bawa.
Saat seseorang yang ia anggap 'rampok' itu telah menampakkan diri sepenuhnya, betapa terkejutnys Haechan, tubuhnya mematung seketika. Perasaan tidak menyangka hadir.
Ia rindu, sangat rindu pada sosok ini. Katanya merah berkaca-kaca. Tongkat nya ia jatuhkan, mengundang perhatian dari sosok di depannya.
"A-ayah.." Panggilnya, air matanya lolos begitu saja, tanpa bisa di bendung lagi.
Haechan berjalan menghampiri sosok yang ia sebut sebagai ayah itu. Memeluknya dengan erat, sembari menyalurkan rasa rindunya.
"Ayah, Haechan rindu ayah" Ucapnya sambil menahan isak.
Mendengar kalimat yang diucap sang putra, Leeteuk langsung melepas kasar pelukan Haechan.
"Jangan menyentuhku, sialan!" Jantung Haechan rasanya mencelos mendengar ayahnya berkata seperti itu.
"Kenapa tidak boleh peluk? Haechan rindu, ayah.. Sudah lama tidak pulang, banyak yan-"
"Diam!" Kalimat Haechan langsung terhenti begitu mendengar sentakan tajam dari sang ayah. Airmata yang sempat reda kini kembali menetes membasahi pipinya yang semakin tirus.
"Minggir. Saya lelah." Ujar Leeteuk dingin. Haechan menggeser tubuhnya perlahan. Merasa bahwa pergerakan Haechan terlalu lambat, Leeteuk memajukan tubuhnya sambil masih menarik koper besarnya, ia menyentak tubuh putra bungsunya kesamping, hingga menabrak pada meja kayu di belakangnya.
Tubuh Haechan melemas menerima perilaku sang ayah, lagi lagi hatinya dihancurkan oleh orang terdekatnya.
Perasaanya keruh, hatinya ingin menangis meraung meminta keadilan dan penjelasan atas semua perilaku keluarganya saat itu. Bagai disayat pisau tajam rasanya.
Namun, otaknya tak dapat merealisasikan permintaan hatinya.
"anak laki laki itu tidak boleh cengeng ya, Haechan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Sun || Haechan
Fanfictiondianggap pembawa sial, tak berguna, bodoh dan yang lebih parah nya anak pungut? bagaimana jika kalian berada di posisi nya? marah? sedih? atau akan tetap bertahan? dia, Lee Haechan menanggung semua rasa itu, rasa sakit, sedih, marah, tapi tak bisa m...