Sekitar empat buku paket berisi latihan soal-soal tergeletak di atas meja dengan sedikit kasar. Setelah menyelami banyaknya buku di perpustakaan, akhirnya Ayyara berhasil menemukan buku-buku yang ia butuhkan untuk menjadi pedomannya lolos tes kelas unggulan. Tes yang akan diselenggarakan setelah Penilaian Akhir Semester 2.
Arya melirik pada judul buku yang Ayyara bawa tadi. Buku-buku dengan materi matematika membuatnya mengernyit heran. Kenapa hanya buku matematika saja yang Ayyara bawa?
"Matematika?" tanya Arya bingung.
"Buat menyelamatkan kebodohan gue."
Semakin dibuat heran atas jawaban Ayyara. Namun, suara gadis itu pada detik selanjutnya membuat Arya paham kenapa Ayyara memilih belajar matematika.
"Gue juga bingung kenapa tolak ukur orang pinter itu di matematika. Orang yang bisa matematika udah pasti dibilang pinter, tapi yang jago di bidang lain belum tentu dibilang pinter."
"Make sense, karena matematika pelajaran paling sulit," timpal Arya memberi masukan.
"It's weird! Padahal kecerdasan nggak cuma pinter di pelajaran. Itu kenapa ada berbagai macam jenis kecerdasan."
Kali ini Arya berhasil dibuat tertegun atas beberapa kalimat Ayyara. Tidak seperti biasanya. Kalimat random serta konyol kini menjadi deretan ungkapan berbobot dan masuk akal. Arya menjadi curiga apakah di sampingnya itu benar-benar Ayyara?
"Huh, menurut gue lebih sulit bahasa Indonesia. Kalau instingnya meleset pasti masuk jebakan di pilihan ganda. Sedangkan matematika rumus udah pasti cuma tinggal kitanya yang pinter ngehitung atau enggak."
Ayyara memasukkan buku yang tidak ia gunakan ke dalam laci. Ia harus rajin belajar mulai sekarang. Bagaimana pun ia akan terus berusaha supaya lolos kelas unggulan. Demi bertemu Apin.
"Yakin lo mau belajar matematika?"
Pertanyaan meragukan Arya, menghentikan pergerakan Ayyara yang tengah membuka buku. Membuka bagian materi trigonometri.
"Yakin!" tukas Ayyara.
"Gue mau bilang Mama supaya bisa daftar les."
Ke sekian kalinya Arya melongo mendengar keputusan mengerikan itu. Perubahan mood belajar yang signifikan membuatnya semakin curiga pada sosok di sampingnya. Sebesar itu dampak sosok ketua bakpao untuk otak Ayyara?
Atau ... yang di sebelah Arya bukan Ayyara?
"Perjuangan demi cintaku padanya."
Mendengar kalimat alay itu, barulah Arya menghela napasnya lega. Ia percaya jika di sampingnya masih kembarannya.
"Rumus pythagoras aja lo nggak tau, Ay, apalagi trigonometri," ujar Arya.
"Justru karena nggak tahu, kan mau belajar, Kak!"
Kesal karena setiap kalimat Arya membuatnya pesimis. Kalimat meragukan serta pertanyaan meremehkan berhasil melukai harga diri Ayyara. Namun, mengingat riwayat prestasinya yang sangat buruk dan selalu menduduki peringkat bawah, Ayyara hanya bisa pasrah.
Suara decitan kursi mencuri atensi Ayyara untuk menengok ke arah Arzan yang baru saja kembali dari kantin. Dua kancing seragam bagian atas yang terbuka sehingga mengekspose dada terbalut kaos putih menciptakan kesan bad pada cowok itu.
"Sincostan hafal?"
Suara Arya merenggut kesadaran gadis itu. Ia menoleh sambil mengerutkan alisnya.
"Eng--"
"Luas PP aja perlu dipertanyakan, Ar, apalagi sincostan," sindir Arzan ikut nimbrung.
Tanpa meminta izin cowok itu menegak air minum pada botol Ayyara menimbulkan tendangan di kursinya dengan sangat keras.