44 - Miniatur Beda Dunia

1.2K 106 60
                                    

Suara nyamuk di dalam apartemen Arzan terlihat begitu mengganggu hingga membangunkan Ayyara yang tidur di tempat tidur cowok itu. Pantas saja, pintu balkon tidak ditutup rapat akibat dia yang merasa gerah. Ayyara meraih ponselnya di nakas. Masih pukul 6 pagi. Ini terlalu pagi untuknya yang menghadapi hari libur.
Ayyara membuka sebuah pesan dari Bu Dewi.

Bu Dewi :

Wah, selamat ya Ayyara kamu bisa bawa nama baik SMA Angkasa di kompetisi kemarin

Ibu bangga banget sama kamu

Bu Dewi punya hadiah buat kamu sama Fanny

Nanti temui Bu Dewi jam 7 Pagi di Kafe dekat sekolah ya, Ibu udah kabarin Fanny. Jadi, kamu ke sini langsung aja

Ayyara membekap mulutnya, menahan agar tidak berteriak. Hadiah? Wah, sangat membuatnya begitu antusias. Namun, di sisi lain hatinya ia merasa janggal. Kenapa Bu Dewi tidak memintanya bertemu di lingkup sekolah?

Menyadari jam sudah hampir jam 7 pagi. Buru-buru Ayyara mempersiapkan diri. Mandi, menggunakan kemeja paling kecil milik Arzan dan celana jeans.
Saat berniat keluar kamar, Ayyara berhenti. Dia menatap ponselnya. Ia mengaturnya hingga tidak ada lagi sandi pada ponselnya. Lalu, meninggalkan ponselnya di meja belajar Arzan.

“Kak, gue pergi dulu, ya?” bisik Ayyara sembari berjalan mengendap-endap melewati area di mana Arya dan Arzan tidur di karpet berbulu.

☆☆☆☆

Binar mata Ayyara terlihat ketika Bu Dewi mengeluarkan sebuah kotak hadiah. Terlebih saat Bu Dewi menyuruhnya membuka dan menilai. Ayyara semakin tidak sabar. Dia membukanya hingga terlihat sebuah kotak musik dan miniatur biola. Terlihat antik dan mahal.

“Wah, ini cantik banget, Bu,” kata Ayyara senang. “Makasih banyak, Bu Dewi.”

Bu Dewi tersenyum puas melihat wajah bahagia Ayyara. Tidak sia-sia dia memilih hadiah yang berbau biola. Ayyara sangat menyukainya.

“Sama-sama, Ayyara. Maaf loh ya, Ibu baru sempet kasih kamu hadiah. Kemarin Ibu ada dinas ke luar kota.”

“Ayyara jadi ngerepotin Ibu,” ucap Ayyara sedikit lesu.

“Ini kemauan Ibu sendiri buat kasih kamu hadiah. Pak Han juga titip salam buat kamu, kata beliau selamat atas kompetisinya sama makasih udah harumin nama SMA Angkasa.”

“Wah, iya Bu Dewi. Makasih kembali buat Pak Han.”

“Nanti kamu sampaikan sendiri aja. Pak Han mau nyusul ke sini nanti.”

Wajah Ayyara semakin berbinar. Jantungnya berdebar mengetahui bahwa prestasinya diapresiasi banyak orang. Dia bangga sekali.

“Oh, ya. Fanny mana ya?” gumam Bu Dewi. Beliau meminum minumannya.

“Bu Dewi sudah kabarin Fanny?”

“Udah. Kalian free hari ini. Tapi, kok dia gak dateng-dateng.”

Ayyara ingin membantu menghubungi namun tidak membawa ponselnya.

“Kita seneng-seneng duluan aja, Ay.”

Bu Dewi mempersilakan Ayyara untuk menikmati makanan yang dia pesan. Tanpa sungkan pun, Ayyara memakannya dengan lahap.

Sedetik, dua detik hingga tiga detik semuanya masih baik-baik saja.
Setelah beberapa menit, tubuh Ayyara merespons. Gadis itu terlihat memegang kepalanya yang pening. Melemah, tenaganya habis dalam sekejap. Lalu, tidak sadarkan diri.

☆☆☆☆

Bunyi sebuah besi bertemu dinding begitu mengganggu telinga. Ayyara yang tadi tidak sadar diri, kini membuka matanya. Mengedip beberapa kali, memastikan bahwa yang dia lihat memang benar.

“Udah bangun?”

Itu suara Bu Dewi yang membuat Ayyara terdiam lemas.

“Gimana rencana kamu sama temen-temen kamu itu? Gagal?”

Sepertinya praduga mereka tentang Bu Dewi yang halus kini justru sangat berbeda.

“Gak ada orang di sini. Mau kamu teriak juga gak masalah,” ujar Bu Dewi.

Ayyara meronta agar tangannya dilepas. Ia tidak bisa bersuara akibat mulutnya diperban oleh wanita gila di hadapannya.

“Kalau kamu udah ketahuan saya, jangan harap kamu bisa bebas.”

Seorang laki-laki yang diduga sebagai kepala sekolah SMA Angkasa datang memasuki gedung usang di mana Ayyara di sekap bersama beberapa pengawal.

“Kamu pikir rencana kamu itu berjalan lancar? Salah besar kalau kamu ngira saya gak tau apa yang kamu rencanain sama geng kamu itu,” ujar Pak Han menatap sinis Ayyara.

“Diam bukan berarti kalah. Kita tau apa yang kamu atur dan sekarang giliran kita yang bertindak,” imbuh Bu Dewi.

“Udah siap?” tanya kepala sekolah itu.

Laki-laki tersebut mengambil sebuah pisau lipat tajam yang sudah dipersiapkan.

“Ada sebuah konsekuensi dalam semua tindakan. Kamu berani ganggu Angkasa, artinya harus berani tanggung jawab.”

Ayyara menggelengkan kepalanya sambil menangis kencang dengan suara teredam.
Ia semakin ketakutan tatkala Pak Han mendekatinya.

“Saya gak akan segan-segan bunuh siapa aja yang udah ganggu urusan saya,” ujar Pak Han.

Ujung pisau sudah berada tepat di depan perut Ayyara. Tinggal hitungan detik, ini menjadi sesuatu tragedi menyeramkan.
Tanpa hati, Pak Han mendorong pisau tersebut hingga menembus kulit Ayyara. Memuncratkan darah segar dari perut Ayyara. Sekali tarikan, Pak Han membuka perban di mulut Ayyara.

Mati-matian Ayyara menahan rasa sakit yang menyerangnya secara dadakan. Tidak peduli lagi seberapa banyaknya air mata yang keluar. Ini sungguh menyakitkan.

“Tolongh,” lirih Ayyara, sangat berharap ada super hero membantunya.

Bukan menyudahi, Pak Han justru semakin menusuk dalam perut Ayyara hingga membuat Bu Dewi tersenyum sinis.

“Kamu salah kalau mengira saya di kubu kamu,” kata Bu Dewi.

Pada akhirnya Ayyara tau sifat asli Bu Dewi. Meskipun nyawanya dipertaruhkan.
Darah keluar dari mulut Ayyara begitu banyak. Ayyara sudah tidak berdaya, matanya sayu. Usaha kerasnya untuk bertahan terlihat mengkhianati.

Ayyara ingin tidur.

☆☆☆☆

PYTHAGORAS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang