25 - NPA

843 99 12
                                    

Apin menatap langit-langit kamar penuh kekosongan. Suara ribut lagi dan lagi ia dengar seolah sudah seperti musik yang tidak pernah absen ia dengarkan. Akan tetapi, kali ini Apin paham kenapa orang tuanya memilih untuk terus bertengkar ketimbang berpisah.

“Vin!” panggil Papa Ravin.

Laki-laki berkepala tiga tersebut berdiri di ambang pintu.

“Papa sama Mama mau bicara sama kamu.”

Apin bangkit dari posisinya, mengikuti langkah Papanya yang berjalan menuju ruang tengah. Di sana, Mamanya duduk dengan sebuah koper di sampingnya. Setelah Apin duduk, Sam selaku Papa Ravin mulai bicara.

“Mama sama Papa udah resmi cerai.”

Adalah sebuah pernyataan yang tidak pernah Apin bayangkan selama ini. Pernyataan yang disampaikan hanya secara lisan, namun rasanya seperti belati tajam. Apin berdeham, mencoba mencerna ucapan Papanya.

“Cerai?”

“Iya. Kemarin sidang perceraiannya.”

Bahkan tanpa Apin ketahui keduanya telah mengurus proses perceraian hingga rampung. Apin mengepalkan tangannya. Ia melirik Mamanya di sebelahnya.

“Kamu mau ikut Mama atau Papa?”

Pilihan paling sulit seumur hidup seorang Ravindra. Cowok berumur belasan tahun itu bingung, kecewa, terluka. Apin bukan laki-laki manly yang hatinya sekuat baja untuk menelan semua kenyataan pahit ini. Apin hanya seorang introvert dengan hati ringkih.

“Kalau ikut Mamamu, kamu ke Semarang malam ini.”

“Apin stay di sini.”

Kalimat tanpa ada perkataan memilih. Apin tentu tidak bisa jika harus memilih di antara dua orang yang dia sayang. Dia orang yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Sejahat apa pun Lauren, jauh dalam lubuk hati Apin ia tidak tega membiarkan Lauren sendiri. Namun, ia juga tidak bisa ikut dengan Mamanya.

“Oke, kamu bisa pergi!” usir Sam pada mantan istrinya itu.

Lauren menghambur pelukan pada putra tunggalnya. Tidak ada tangis, hanya senyuman terakhir sebelum wanita itu menyeret koper.

“Jaga diri baik-baik, Ma,” pesan Apin diangguki Lauren.

“Kamu juga jaga diri baik-baik. Nanti kalau kangen sama Mama telepon Mama aja. Kalau mau ketemu Mama, bakal Mama beliin tiket ke Semarang.”

Tepukan pelan di punggung Apin semakin mendesak cairan bening terjun dari mata indah Apin. Sebisa mungkin, Apin menahan diri supaya tidak terlihat lemah.

Love you, Ma.”

Love you more, sayangnya Mama.”

Bertengkar mungkin salah satu alternatif untuk mempertahankan pasangan. Namun, di sisi lain pertengkaran juga tidak selamanya akan mereka hadapi. Perpisahan sejatinya yang menjadi ujung pertengkaran tidak berakhir itu.

☆☆☆☆

Angin menyapa pada jiwa-jiwa yang rapuh, pada harapan yang luruh serta segala hal yang telah pupus. Malam menemani sosok penuh luka yang dalam diam meratapi nasib. Memeluk erat segala penyesalan dalam hidup. Alunan lagu melankolis turut menciptakan suasana menyedihkan di kamar Aldev.

Apin terdiam di paling pojok sementara yang lainnya fokus dengan sebuah film. Ia menerawang jauh ke depan tentang semua yang ia lalui hari ini. Pikirannya hanya tertuju pada percakapan terakhirnya dengan sang Ibu. Bahkan Garza dan Aldev yang menonton film tidak ia gagas.

“Keren sih, pantes ratingnya tinggi,” cetus Garza.

“Mukanya mirip lo tau, Pin,” ujar Aldev menunjuk salah satu bintang film di laptopnya.

PYTHAGORAS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang