Kepada angin malam yang menyapa, tolong sampaikan rasa penyesalan Arya teruntuk Ayyara. Arya benar-benar merasa buruk atas perilakunya. Sedalam apa pun Arya mengubur bayangan terluka Ayyara malam itu, semakin dalam juga rasa sakit yang ia rasakan. Arya sekarang percaya kata orang bahwa anak kembar memiliki ikatan batin yang kuat. Ikatan batin yang membuat Arya dapat merasakan betapa sakitnya menjadi Ayyara ketika ia mendaratkan tamparan pada gadis itu.
Arya, laki-laki yang selama ini menjadi malaikat pelindung Ayyara justru melakukan hal sekeji itu pada Ayyara.
Malam ini, emosi Arya berkumpul mulai memuncak setelah menyaksikan bagaimana kerasnya Ayyara belajar. Jauh seperti Ayyara yang ia kenal. Arya menyandarkan punggungnya di kursi balkon kamar.“Kak! Gue udah satu jiwa sama violin. Gimana bisa gue bahagia kalau nggak gesek violin kesayangan gue?”
Merupakan kalimat Ayyara saat dulu. Gadis egois yang dengan keras kepala memainkan violin walaupun orang tuanya melarang keras Ayyara. Kini, Arya sudah tidak pernah mendapati Ayyara bermain violin. Lantas, apa Ayyara sekarang bahagia?
“Nggak penting nilai gue berapa, yang penting nggak peringkat terakhir.”
Kekehan kecil keluar dari bibir Arya mengingat momen di mana Ayyara dengan tegas menolak belajar. Ayyara selalu saja mengatakan bahwa yang terpenting baginya tidak berada di nomor terakhir. Pantas saja tidak ada kemajuan, Ayyara berorientasi pada sesuatu yang di bawahnya. Ayyara selalu menduduki peringkat 15 dari 36 siswa IPA 5.“Kalau gue nggak naik kelas, enam belas lainnya juga nggak masuk kelas dong? Dan itu nggak mungkin terjadi. Slow man.”
Arya memejamkan matanya, mencoba memutar kembali rekaman indah dalam otaknya.
“NGAKU KAK, LO SAMA ARZAN GAY ‘KAN?”
“Lagian Arzan suka nempel-nempel lo, idih betah banget lo.”
“Ya Gusti, Kak Arya! MACARON GUE KOK DIHABISIN?”
“Nikmatin aja bahagianya, soalnya nanti belum tentu bahagia.”
Sudut bibir Arya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman. Ternyata momen bersama Ayyara begitu menyenangkan dan tidak terlupakan. Gadis yang suka bercanda ria, mengabaikan pelajaran, keras kepala memainkan violin sudah berubah menjadi manusia ambisius yang hanya peduli pada nilai. Salah, bukan hanya nilai, namun juga pada Apin.
Arya kembali murung. Mengambil sebatang rokok dari sakunya. Hati ini pertama kalinya Arya pergi ke warung depan kompleks hanya untuk membeli rokok. Ia butuh sesuatu yang menenangkan. Cowok itu mengarahkan rokok pada bibirnya, lalu menjepitnya di antara bibir. Saat akan menghidupkan korek, menyulut api pada ujung rokok. Arya menghentikan pergerakannya.
“Fuck.”
Arya melepas rokok tersebut, mematahkannya menjadi dua. Ini bukan jalan keluar, Arya takut jika kecanduan dan merusak paru-parunya. Pelampiasan terbaik bagi Arya yakni tidak merugikan diri sendiri. Arya mendengkus kasar. Ia segera bangkit, bertekad menemui Ayyara.
Semua kekacauan akan ia sembuhkan menggunakan sumber kekacauan itu sendiri. Arya, cowok itu lebih suka menyelesaikan masalah langsung dengan oknum terkait.
☆☆☆☆
Ayyara menutup matanya dengan kepala tertidur di atas meja belajar. Bukan merasa lega karena sudah berhasil menyimpan deretan rumus di otaknya. Ia justru gelisah, hatinya cemas, hidupnya berantakan tak tentu arah. Belajar, belajar dan belajar. Membosankan sekali baginya. Ia rindu masa-masa di mana ia bebas bercanda dan tertawa di IPA 5 tanpa peduli nilai. Ia rindu ketika ia menggesek violinnya tanpa beban. Ia rindu sikap hangat Arya, rindu bertengkar dengan Arzan, ia rindu hal yang hilang setelah masuk unggulan.