Aroma khas buku-buku menyapa indera pencium dua remaja yang masih berseragam sekolah. Mereka memasuki sebuah toko buku dengan tangan bergandengan. Secandu itu Apin menggenggam tangan Ayyara. Ia tidak ingin melepaskannya. Bahkan protesan yang Ayyara ajukan ditolak mentah-mentah olehnya.
"Gue beliin buku biologi buat persiapan besok, mau?" Apin menunjukkan sebuah buku biologi yang sudah Ayyara beli kemarin.
"Udah beli kemarin."
"Oh ya? Udah belajar sampai mana?" tanya Apin sambil mengitari toko buku tersebut.
"Pola hereditas."
Apin mengangguk paham. Ia meraih sebuah buku dengan judul Redoks Elektrokimia. Membacanya sekilas, lalu kembali meletakkannya. Cowok berwajah serius itu menuju bagian biologi di mana buku-buku yang berhubungan dengan organ manusia ada.
"Tahu tugas pembuluh vena?" tanya Apin.
"Bawa darah dari organ ke jantung."
Ayyara menatap Apin yang juga menatapnya.
"Darah 'kan yang dibawa? Tapi kok lo bisa ke jantung gue? Lewat mana?"
Ayyara mematung, terkejut dengan kalimat Apin yang merujuk pada sebuah gombalan. Ia berkedip beberapa kali, tercengang. Pada akhirnya kesadarannya dikembalikan lagi oleh Apin.
"Baru ditanya gitu, belum ditanya 'para saksi, sah?' yang lain jawab sah, lo udah nggak sadar diri." Dengkusan geli Apin membuat Ayyara spontan mencubit perut cowok itu.
"Nyebelin!" sungut Ayyara berusaha menutupi rasa salah tingkahnya.
"Respons saraf simpatik lo nggak bisa ditutupin." Tangan Apin menangkup pipi merah merona Ayyara.
"Merah, gue suka."
Ayyara menepis tangan Apin, menutupi pipinya yang kata Apin merah. Sungguh, Ayyara sangat malu sekarang. "Kok bisa merah, sih?" gumam Ayyara.
"Itu artinya hormon adrenalin lo lepas, biasanya gara-gara malu. Berhubung di muka banyak pembuluh darah kecil, peningkatan aliran darah di muka jadi lebih gampang kelihatan. Itu alami."
Untuk beberapa saat, Ayyara merasa takjub dengan Apin yang menerapkan ilmunya pada hal seperti ini. Menerapkan apa yang ia tahu ke dalam kehidupan sehari-hari.
"Udah saltingnya?"
Ayyara mendengkus sebal. Sedikit terganggu akibat ucapan Apin saat ini walau ia berharap waktu tidak cepat berlalu. Ayyara mengangguk.
"Mau novel, Ay?"
"Enggak," tolak Ayyara.
Apin berjalan menuju di mana spiral note book berada. Ia meraih satu buku yang menarik di matanya. Sebuah buku dengan desain cover menangis.
"Buat lo ya?"
"Kok sad?"
"Biar lo sedih, terus minta gue peluk." Apin mengerling jail. Jika banyak laki-laki tidak ingin kekasihnya menangis, maka lain halnya dengan Apin.
"Dih, nyambung," cibir Ayyara dibalas kekehan Apin. Apin segera melakukan transaksi untuk memindahkan hak kepemilikan buku itu.
Tidak sampai di sana. Mereka menghabiskan waktu membeli es krim, memakan sate di pinggir jalan dan mengobrol hingga mereka harus berpisah ketika malam hari tiba.
Setidaknya sebelum turun ke medan perang lagi, mereka telah menghabiskan waktu bersama. Ayyara ingin sekali waktu berhenti berputar. Ia tidak mau di esok hari Apin menjadi sosok otoriter lagi. Namun, apa boleh buat. Menyiapkan mental untuk antisipasi jika Apin mengajaknya berdebat adalah solusi terbaiknya.