Pagi-pagi buta Apin sudah bersiap dengan seragamnya. Cowok berpenampilan lebih rapi dari biasanya itu meletakkan tasnya di meja makan. Rumahnya sepi, orang tuanya pergi setelah pertengkaran yang terjadi tadi malam.
Apin melipat lengan seragamnya hingga siku-siku. Bermodalkan tutorial dari resep google ia bertekad membuat nasi goreng untuk Ayyara. Apin sudah berpikir sepanjang malam, bahwa dia harus menebus kesalahannya. Ia tidak boleh menyerah begitu saja karena ini menyangkut perasaannya.
“Den?” panggil Mbok Imah pembantu rumah pada Apin yang sedang mengupas bawang putih.
“Mau masak nasgor, Mbok.”
“Mbok udah masak buat sarapan, Den.”
“Ini spesial buat pacar Apin.”
Mbok Imah mengangguk paham. Ia mendekat ke arah Apin yang sudah siap dengan bumbu-bumbu.
“Mau Mbok bantu?”
“Bantu cicipin aja ya, Mbok?”
Apin mulai menghaluskan bumbu-bumbu dengan cobek batu. Setelah dirasa sudah halus, ia mengambil nasi, menyiapkannya di sebuah piring yang sekiranya cukup untuk satu porsi.
Kemudian, cowok itu melanjutkan step-step selanjutnya hingga harus masakannya tercium begitu sedap. Apin meminta pada Mbok Imah memeriksa rasanya apakah sudah enak atau kurang enak.
“Mantap, Den!” seru Mbok Imah mengacungkan jempolnya.
“Udah siap jadi mamang nasi goreng nih, Mbok?”
“Waduh, siap poll Den!”
“Makasih, Mbok!”
Segera Apin menata nasi goreng buatan tangannya di tempat bekal. Ia juga menambahkan lalapan juga telur ceplok di atasnya.
☆☆☆☆
Tidak perlu dipertanyakan lagi apa yang menjadi topik perbincangan hangat para murid di SMA Angkasa. Sejak turun dari motor saja Apin sudah tahu jika yang mereka bicarakan adalah Ayyara. Gadis yang berhasil mengharumkan nama SMA Angkasa. Apin turun senang, dan mungkin akan semakin senang jika dia tidak menorehkan kecewa pada Ayyara.
Lagi-lagi dia harus menelan kenyataan pahit itu.
“WOI BAKPAO BERJALAN!”
Teriakan menggelegar Raskan terdengar dari ujung koridor. Raskan berlari ke arah Apin dan langsung memiting leher Apin tanpa aba-aba.
“Tumben jam segini udah berangkat?” tanya Raskan.
“Eh, bentar.”
Raskan mengendus ketiaknya, lalu lengannya. Cowok itu beralih mengendus tangan Apin yang bau bawang.“Lo habis ngapain, nyet?”
“Kepo!”
“Kayak wibu, bau bawang,” ledek Raskan bercanda.
“Ini bukti kalau gue bisa masak—“
“MASAK BAKPAO PAKAI BAWANG?”
“Gadis aja kalah sama teriakan lo, Ras, Ras.” Apin mengusap telinganya yang berdengung akibat suara Raskan.Raskan hanya bersikap acuh saja. Cowok yang menjadi salah satu anggota BASKASA itu melirik tangan kanan Apin yang menenteng sebuah bekal makan.
“Buat siapa itu?”
Mendapati Raskan yang akan merebut bekalnya, Apin dengan kasar langsung mendorong cowok itu agar menjaga jarak dengan harta karun di tangannya itu. Ia tidak akan membiarkan Raskan menghancurkan rencananya pagi ini.
“JANGAN NYET, INI BUAT CEWEK GUE!”
“Bucin.”“NGACA!”
“Ganteng.”
“Iya, kayak monyet.”
“Narsis lo!”
Apin memutar malas matanya. Buru-buru dia bergegas menuju kelasnya. Masih pagi, bukan hal yang pas untuk meributkan hal tidak sehat bersama Raskan. Apin juga tidak ingin Raskan menghancurkan moodnya.
Sampai di kelas, Apin melihat bangku Ayyara. Di sana, seorang gadis tengah fokus menulis di buku catatan. Berhubung keadaan kelas masih sepi, hanya ada beberapa orang. Ia menghampiri bangku Ayyara. Meletakkan bekal yang ia bawa di meja gadis itu.
“Buat sarapan,” kata Apin dengan bahasa super halusnya.
Ayyara melirik sekilas.
“Udah sarapan.”
“Terima Ay, gue udah masak sespesial mungkin.”
Ayyara mengambil kotak bekal Apin. Kemudian, menaruhnya di meja Fanny yang sedang membaca.
“Buat lo, Fan, dari Apin.”
Fanny menoleh dengan pandangan bingung. Sedangkan si pembuat nasi goreng menatap hampa pada bekal kotaknya yang berakhir di meja Fanny. Ia menoleh ke arah Ayyara dengan sendu.
“Gue masak demi lo—“
“Gue nggak minta,” sergah Ayyara. Gadis itu menatap tidak suka pada Apin membuat sekujur Apin kelu.
Apin mengangguk sekali, paham jika Ayyara memang masih marah kepadanya. Ia berbalik, berjalan gontai ke bangkunya. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin memasak hingga badannya bau bumbu-bumbu. Namun, makanannya justru ditolak oleh Ayyara mentah-mentah.
“Gue nggak boleh nyerah!”
☆☆☆☆
Usaha ke dua Apin yaitu membeli macaron, makanan favorit Ayyara. Ia juga membeli satu cup es krim rasa coklat dan juga coklat untuk Ayyara. Ini sudah hari ke dua dia mengemis kesempatan pada Ayyara.
Apin memasuki kelas. Namun, ia tidak menemukan keberadaan Ayyara. Dengan inisiatifnya ia bergegas menuju gerbang SMA Angkasa supaya bisa melihat kedatangan Ayyara. Ia khawatir jika gadis itu terlambat masuk kelas.
Langkahnya terhenti di ujung tangga tatkala melihat keberadaan Ayyara di kantin sedang menikmati bubur. Senyum semringah terbit di bibir Apin. Buru-buru ia menghampiri Ayyara.
“Pagi,” sapanya tanpa dapat balasan apa pun.
“Gue beliin lo makanan kesukaan lo.”
Apin meletakkan paperbag di atas meja. Berharap kali ini Ayyara menerima pemberiannya. Sayangnya, angan-angan itu lenyap saat Ayyara mendorong paperbagnya.
“Gue mampu beli sendiri.”
Lagi-lagi Apin harus menelan kenyataan pahit atas respons Ayyara. Menghembuskan napasnya perlahan supaya sesak di dadanya berangsur hilang.
“Kali ini terima, Ay.”
Ayyara fokus menyantap buburnya tanpa berniat menatap mantan kekasihnya itu. Luka hatinya masih terlalu basah saat ini. Ia butuh menyembuhkan luka yang Apin berikan sebelumnya. Nyatanya Ayyara tidak sekuat dari apa yang Apin lihat. Ayyara juga kehilangan, namun logika Ayyara masih bekerja dengan waras.
Jika akhirnya akan disia-siakan lagi, lebih baik dia sendiri.“Gue janji gak bakal kecewain—“
“Gue kenyang makan bubur, lo mau bikin gue tambah kenyang sama omongan lo?”
Tubuh Apin terdiam kaku. Ia hanya mampu menghembuskan napas pelan melihat Ayyara yang pergi dari hadapannya.
***