11 - Reaksi Hormon Oxytocin

838 100 6
                                    

Semilir angin malam menyapa tubuh dibalut jaket hitam laki-laki SMA. Ketua bakpao melajukan kuda besinya menuju rumah kekasihnya bersama martabak manis yang sudah ia beli di pinggir jalan tadi. Apin akan menagih pelukan hangat Ayyara sesuai saat mereka chatting. Berhubung juga ini malam Minggu.
Pukul 22.00 motor Apin berhenti di depan pagar rumah Ayyara. Sadar jika waktu tidak tepat untuk bertamu, Apin segera menghubungi Ayyara. Beberapa menit menunggu gadis terbalut kardigan merah muda membuka pagar.

“Udah malam,” kata Ayyara seraya melangkah mendekat.

“Katanya pelukan.”

Apin turun dari motornya. Ia merentangkan kedua tangannya guna mempersilakan Ayyara menubruk badannya. Namun, Ayyara justru memundurkan langkahnya.

“Bercanda aja loh tadi,” elak Ayyara. Ia sedikit tidak menyangka bahwa Apin akan menghampirinya dan menagih sebuah pelukan. Ia juga tidak tahu Apin bercanda atau bukan.

“Effort gue sampai sini masa nggak dihargai?”

“Bandung Bondowoso aja yang bikin candi semalam tetep ditinggal Roro Jonggrang.”

“Tapi dihargai sama orang-orang sampai candinya didatengin wisatawan. Kalau lo nggak ngehargai gue, orang lain pasti bakal ngehargai gue sampai hati gue didatengin cewek la—“

Buru-buru Ayyara memeluk erat tubuh Apin, nyaris membuat Apin terjungkal ke belakang. Hatinya menolak jika ia akan cemburu. Ia hanya tidak ingin mendengar celotehan panjang lebar dari Apin karena seperti dongeng. Mantra pengantar tidur.

Apin tersenyum menang. Tangannya menepuk pundak Ayyara beberapa kali. Nyaman, damai, tenang. Apin belum pernah merasakan pelukan sehangat ini sebelumnya. Mungkin hanya saat ketika ia masih balita, sebelum orang tuanya dipenuhi masalah.

“Lo hebat, Ay,” bisik Apin.

“Makasih, Apin.”

“Rambut lo wangi. Pakai sampo apa?”

Ayyara mengernyit bingung dalam dekapan Apin. Beberapa detik ia merasakan bibir cowok itu mendarat di puncak kepalanya. Spontan ia mendorong Apin mundur.

“Modus, gila! Ngomong aja kalau mau cium,” sewot Ayyara berusaha menutupi rasa salah tingkahnya.

Si pelaku tertawa puas melihat wajah merah tomat Ayyara. Setidaknya ia tidak salah tingkah sendirian sekarang.

Apin mendengkus pelan sambil menarik tangan Ayyara lembut. Jemarinya terulur merapikan helai hitam rambut gadis itu. Lalu, merambat menyentuh pipi Ayyara dan mengusapnya bagaikan sutra.

“Jangan cemburu sama Fanny.”

Pembahasan yang tidak Ayyara inginkan. Semakin ke sini, nama Fanny sering ia temui dalam kehidupannya. Ia menyingkirkan tangan Apin dari pipinya. Merolling matanya ke arah lain.

“Percaya diri berlebihan itu nggak baik.”

“Kondisi hati lo itu gampang ketebak, Ay. Dari segi ekspresi, lo nggak bisa bohong,” ujar Apin.

“Lo sekarang jadi bad mood, kan?”

“Enggak, ngantuk, Pin!” tukas Ayyara malas.

Kebohongan Ayyara terbaca jelas. Apin meraih tangan gadis itu, menggenggamnya erat. Dari kehangatan tangannya, Apin ingin memberitahu Ayyara bahwa ia ingin suasana kehangatan dalam hubungan mereka. Bukan sedingin es seperti saat ini.

“Sayang,” bujuk Apin dengan suara super lembutnya.

"Apasih kok jadi clingy gini?" cibir Ayyara pelan.

"Kan lagi belajar wujudin eksperimen kita?" sanggah Apin. Jemarinya terulur merapikan anak rambut Ayyara.

“Gue tau, Ay. Kita emang cuma sebatas eksperimen, nggak romantis waktu jadian. Gue nggak bawa bunga, nggak bersimpuh di depan lo, nggak bawa pasukan. Mungkin feel bad buat lo. Tapi lo harus tau, kalau lo udah jadi prioritas hati gue.”

PYTHAGORAS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang