"KENAPA NGGAK CERAI SEKALIAN?"Laki-laki yang berdiri di tangga rumah itu menatap kedua orang tuanya dengan napas memburu hebat. Selalu saja meributkan hal yang itu-itu saja. Tidak pernah sekali pun mereka dalam kondisi harmonis. Seolah, rumah ini neraka bagi mereka.
Jika satu-dua kali mungkin bisa disebut problem rumah tangga. Namun, bertahun-tahun Apin tinggal di rumah itu. Tidak pernah ia merasakan ketentaraman terkecuali saat orang tuanya tugas ke luar kota.
Lantas yang Apin pertanyakan, sampai kapan ini terjadi? Kenapa mereka tidak memilih saling melepaskan dan mengejar kebahagiaan masing?
"Jaga bicaramu Ravin!" tandas Sam selaku Papa Apin.
"Kalau Papa bisa jaga bicara Papa, Apin bakal diem!"
Apin menuruni tangga agar lebih dekat dengan orang tuanya. "Kalian nggak capek? Ribut terus tiap hari. Apin aja capek dengernya!"
"Mamamu yang mulai," ujar Sam.
"Kamu yang suka nuduh aku selingkuh! Ngaku aja kalau kamu yang selingkuh, bukan malah nuduh orang nggak jelas."
"Mulai! Aku nggak ngerti sampai kapan kata keluarga cuma sebatas status di KK."
Setelah itu Apin meninggalkan rumah dengan hati yang lebur. Keluarga? Mereka tidak bisa disebut keluarga. Rumah? Bahkan lebih seperti medan perang. Apin tidak habis pikir atas pikiran orang dewasa. Jika selalu bertengkar saat bertemu mengapa mereka tidak memilih berpisah?
****
Beberapa lembar kertas berisi fakta-fakta yang mampu membuat jiwa raga Ayyara kelu dibanting di meja belajar Arya.
Arya yang tengah memakai kaos menoleh terkejut kala gadis itu membuka kasar pintu kamarnya. Ia segera membenarkan pakaiannya, lalu mendekati Ayyara yang terlihat marah. Mengambil lembar-lembar kertas putih itu dengan bingung.
"Gue masuk unggulan gara-gara lo nyogok guru?"
Ayyara meringkas jarak. Tangannya tergerak mendorong kasar dada Arya sampai Arya memundurkan langkahnya.
"Jawab, Kak Ar!"
"Iya. Lo nggak mungkin bisa kalau gue nggak nyogok. Gue nggak bakal lakuin ini kalau lo nggak ngemis kayak waktu itu!" jawab Arya sambil membanting kertas itu kasar.
"Kak, kita baru baikan kemarin," ujar Ayyara penuh penekanan.
Arya menghembuskan napasnya pelan. Ia duduk di meja belajarnya berusaha mengontrol emosinya.
"Kenapa? Lo anggap gue bodoh?"
"Lo tau? Isi unggulan itu fifty-fifty. Lima puluh persen siswa cerdas, lima puluh persen siswa kaya. Ada beberapa daftar siswa yang udah jadi langganan unggulan. Azalea sama Kalila contohnya. Dan siswa yang intellegent di unggulan rata-rata cowok. Kalau gue nggak nyogok guru, lo nggak masuk."
Banyak yang menilai jika perempuan rata-rata lebih pintar dalam pelajaran hingga orang-orang menganggap ragu jika laki-laki bisa menjadi pintar juga. Otomatis banyak yang menyorot siswa berjenis kelamin L dalam kelas unggulan. Dan jika para cowok pintar tidak lolos, mereka bisa memancing keributan. Kemungkinan mereka menyerang pihak sekolah jauh lebih tinggi dibandingkan para siswi. Itu mengapa murid pintar unggulan dominan cowok.
Arya memutar badannya menatap Ayyara. Mungkin sudah saatnya Ayyara tahu bagaimana sistem kelas unggulan itu diterapkan. Sistem yang membuatnya memilih undur diri dari kelas tersebut saat ia lolos sebagai TOP STUDENT 10'22.
"Itu alasan kenapa para guru milih siswa unggulan dari hasil tes unggulan, bukan ujian-ujian per semester."
"Sekali pun hasil tes unggulan lo tinggi. Lo nggak bakal lolos karena lima puluh persen siswa yang lolos pakai jalur nilai dilihat dari history prestasinya di sekolah. Lo bahkan nggak pernah masuk tiga besar dari kelas sepuluh."