Seusai pelajaran olahraga berakhir. Siswa-siswi penuh keringat dari XII IPA 1 bergegas menuju kantin guna mengisi energi mereka yang nyaris habis tak tersisa. Olahraga lari estafet benar-benar menguras tenaga mereka.
Ayyara mengejar Apin yang berjalan bersama Aldev dan Garza ke kantin. Ia menahan lengan cowok itu.
“Gue mau ngomong bentar,” kata Ayyara.
“Yang bucin, yang bucin,” ledek Garza pada dua orang itu.
“CO dua T,” tandas Apin mengcopy ucapan Aldev. Ia segera menarik lengan Ayyara, memutar jalan untuk ke rooftop sekolah.
Ayyara memperhatikan punggung Apin yang berjalan di depannya. Melihat dengan saksama cowok itu berjalan tanpa ekspresi namun terkesan cute. Lalu, cowok itu memasukkan pin pada pintu rooftop hingga terbuka.“Ngomong apa? Kangen?” goda Apin.
“PDnya selangit.”
Bukannya fokus dengan tujuannya. Ayyara justru salah fokus dengan pemandangan dari atas rooftop. Ia bisa merasakan tiupan angin yang menyapa tubuhnya, menerbangkan setiap helai rambutnya dan menciptakan rasa sejuk baginya. Perpaduan yang menyegarkan jika saja ia membawa minuman dingin ke sini.
“Suka banget kayaknya,” cibir Apin sembari melangkah menghampiri Ayyara.
“Suka banget! Kenapa nggak dari dulu gue main ke sini.”
“Sekarang kalau mau ke sini bilang aja gue.”
“Dankiiess!” seru Ayyara melompat-lompat riang. Hal yang membuat Apin benar-benar takjub atas keceriaan gadis itu.
Beberapa menit mereka mengistirahatkan diri mereka. Ayyara menghampiri Apin di bangku dekat dinding pembatas rooftop.
“Gue mau ngomong penting,” ucap Ayyara.
Apin mengangkat kepalanya, mematikan ponselnya dan memilih mendengarkan penuturan Ayyara. Raut wajah serius dari gadis itu sukses membuat jantungnya berdegup kencang. Jangan lagi, jangan mengatakan putus lagi.
“Gue mau ubah sistem unggulan.”
“Maksudnya?”
“Lo tau nggak kalau 50 persen anak unggulan masuk pakai uang?”
“Tau,” jawab Apin.
“Dan lo termasuk salah satu yang pakai uang.”
“Gila lo, gue nggak pakai uang,” sergah cowok itu.
Ayyara mengeluarkan selembar kertas yang ia temukan di ruang staff bendahara SMA Angkasa bersama Arya waktu itu. Ia memberikannya pada Apin.
“Itu daftar nama murid yang masuk unggulan pakai uang. Uang suap udah dicuci dan hasilnya jadi dana pembangunan.”
“Gue bener-bener nggak ngerti,” tukas Apin.
“Mungkin bokap lo diem-diem lakuin itu, Pin.”
Apin menyugar rambutnya, mengalihkan pandangannya pada atap-atap bangunan di seberang sekolahnya. Panas di kepalanya bahkan mengalahkan panas terik matahari yang menyapa kulitnya.
“Lo nggak mau kan kayak gini terus? Lo pinter Pin. Kita harus ubah ini sama-sama biar kita semua bisa bersaing secara sehat.”
Tanpa basa-basi Apin bersuara. “Rencana lo apa?”
Ayyara membalikkan kertas yang dipegang Apin hingga menunjukkan sebuah kode.
TL2S1TL1U1T2 T2S1BL2T3S1T2
“Tahu, kan?”
Apin mengangguk. “Gue bantu.”
Rasa kecewa karena merasa bahwa apa yang dia banggakan ternyata tidak seutuhnya dari hasil usahanya. Apin bertekad akan ikut menghancurkan sistem unggulan. Dan ia juga akan membuktikan bahwa dia pintar murni dari kemampuannya bukan bantuan UANG.