17. Sebuah Pilihan

692 164 879
                                    

Kini mengapa, menuju mu ku perlu peta.
Dan seketika ku tak tahu arah pulang..

Ku ingin mesin waktu...
Mengantarkanku kearah mu
Yang dulu..

-Mawar de jongh, mesin waktu-

📌

Biasakan vote dulu sebelum membaca;)

●●○○●●

Malam itu hujan berangsur-angsur mereda, jika awalnya hanya ada sunyi karena sepanjang perjalanan baik itu Aletta maupun Antonius tidak ada yang membuka suara, kali ini alunan musik melow dari tape mobil untungnya membuat suasana tidak begitu hening.

Diantara alunan musik yang mengisi pendengarannya, Aletta merenung menatap jalanan basah di depan sana juga wiper mobil yang bergerak dari kanan ke kiri hanya untuk menyeka air hujan. Hebatnya, satu detik ketika alat itu bergerak lagi ke arah kanan, masa lalu tiba-tiba tergambar dari sana. Yang dia lihat bukan lagi air atau keadaan jalanan yang basah. Tapi justru bayangan wajah seorang Jovanka.

"Jovan..., dia buta karena kecelakaan."

Hari itu Aletta datang menghampiri kedua orangtuanya hanya untuk meraung-raung dalam tangis yang meledak. Selama beberapa hari, perempuan itu tidak dapat menemukan jawaban apa-apa. Dia kalut-- terjebak dalam dua pilihan, diantara harus bertahan atau justru memilih pergi.

Bukan sebab dia tidak mencintai Jovan. 3 tahun menyandang status sebagai pacarnya, tidak mungkin kalau Aletta tidak menaruh banyak perasaan untuk lelaki itu. Hanya saja dia itu tipikal orang yang selalu memikirkan bagaimaja esok? Bagaimana lusa? Bagaimana hubungan mereka akan berlanjut, sementara Jovanka seperti itu.

Lalu disela isak tangis yang mulai mereda, mamanya berusaha menenangkan dengan bahasa.

"Sayang ya boleh, cinta juga Itu wajar. Tapi Le, apa kamu yakin kalau rasa cinta itu akan selamanya ada? Apa kamu siap dengan konsekuensi yang akan datang nantinya? Mama bicara begini, bukan semata-mata ingin kamu ninggalin dia. Tapi ini buat kebaikan kamu juga..., keputusan semuanya ada di kamu."

Dengan begitu Aletta mulai berpikir kalau perkataan dari mamanya ada benarnya. Selamanya dia tidak akan terus menerus bergantung pada rasa cinta. Sebut saja kalau Aletta egois disini, tidak apa-apa karena dia sadar itu. Tapi menurutnya dengan meninggalkan Jovan, itu sudah menjadi keputusan terbaik untuknya sebagai seorang perempuan. Waktu itu Aletta membiarkan logika menjadi pemenangnya, sementara perasaannya kalah begitu saja atau justru mengalah.

"Le?"

"Aletta!"

Kemudian semuanya buyar. Bayang-bayang di depan sana sempurna, berubah seperti semula. Sementara Antonius berhasil dibuat tak mengerti dengan keheningan yang mereka ciptakan atau justru Aletta berusaha menghindarinya.

"Lo kenapa, Le?" namun alih-alih ada jawaban, perempuan itu justru geming, memilih menunduk sambil memainkan jari-jari lentiknya.

"Le?"

"Lo sebenci itu ya sama Jovan?" lalu mendadak memberi sorot tidak suka, yang praktis membuat Antonius geleng-geleng semakin tidak paham.

"Maksudnya?"

"Harus banget tadi lo bicara kayak gitu?!"

"Gue bicara fakta, hei." dia tertawa dengan wajah tanpa dosa, yang membuat buku-buku jari Aletta tanpa sadar saling bertaut, mengepal kuat.

"Tapi gak ada yang nanya itu Anton! Bahkan gue gak buka suara! Atau gini deh.., bakal lebih baik kalau lo pura-pura gak lihat dia, sekalipun kalian pas-pas an kayak tadi!" Aletta, dia serius betulan kesal melihat bagaimana Antonius seperti itu pada Jovanka.

Terbit[✔]Tomorrow•Esok Tak Pernah DatangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang