Seperti angin, seperti debu... aku tidak bisa menggapaimu.
📌
Vote jangan lupa;)○○》《○○
Di luar hujan deras, cahaya kilat beberapa kali terpantul dari jendela kamarnya sebab gorden biru tua di sana sengaja belum Anya tutup padahal waktu sudah memasuki tengah malam. Dari jendela kamar, Anya menatap hujan dengan sorot penuh kegamangan-- kegelapan sempurna membungkus langit malam itu. Tidak ada bulan pun tidak ada hamparan bintang. Yang dia saksikan hanya langit berwarna hitam pekat, juga air yang tak memberi jeda untuk jatuh.
Ponsel dalam genggamannya dalam keadaan menyala menampilkan room chat-nya dengan Tristan. Ada tiga pesan terakhir yang dia kirim belum lama ini tapi belum juga ada jawaban, itu sebabnya Anya masih enggan untuk pergi tidur dan memilih menahan rasa kantuknya.
"Tristan? lagi apa di sana?"
"Malem ini aku gak akan minta video call kok."
"Aku kangen kamu..."
Tiga pesan yang entah akan tersampaikan atau tidaknya, tapi Anya tak nyerah untuk terus menghubungi nomor Tristan walaupun sejak awal sama sekali tidak ada tanda-tanda panggilannya akan ada jawaban. Perempuan itu berakhir menangisi segalanya, segala hal yang dia harapkan malam itu tidak akan pernah terjadi. Balasan pesan dari Tristan yang Anya tunggu sampai rela begadang.
"Kalau kamu gak bales aku marah ya!"
"Tristannn!!!"
Anya kembali mengirim pesan, merasa frustasi perempuan itu berakhir menangkup kedua lututnya menangis sesenggukan di sana. Untungnya hujan yang deras malam itu membuat suara tangisannya terdengar samar. Sampai getaran ponsel membuat tangisannya di jeda sebentar.
"Aku di luar." balasan dari Tristan.
Anya terkejut, untuk beberapa saat dia memperhatikan ponselnya terus melirik ke jendela dimana hujan masih sederas tadi. Tapi tanpa pikir panjang, perempuan itu berlari meninggalkan kamarnya dengan langkah yang tergesa-gesa, membuka pintu utama rumah yang sudah terkunci dan tertutup rapat.
Dan begitu pintu berhasil dia buka, air matanya kembali tumpah. Anya berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukanlah mimpi, manakala pandangannya bertemu dengan Tristan yang tengah berdiri diantara jeruji pagar tersenyum begitu damai hingga melenyapkan kegelapan malam itu. Anya lalu berlari, membiarkan seluruh tubuhnya basah di guyur hujan dan langsung membaur ke pelukannya Tristan.
"Kamu kemana aja?"
Tidak ada jawaban--yang membuat Anya memilih untuk melepas sebentar pelukannya. Dengan linangan air mata yang terus turun Anya menatap Tristan intens, meminta penjelasan lelaki ini.
"Tristan? Ini beneran kamu kan?"
Tristan mengangguk, dengan begitu Anya mulai merasa lega. "Ini aku, Nya."
"Kenapa gak bales chat aku? Kenapa gak angkat telepon aku?"
"Maaf."
"Jangan minta maaf terus."
Tristan tidak lagi memberi jawaban, pria yang biasanya anya ketahui acap bicara kalau dia menangis kali ini lebih ke seakan bisu. Seperti dia mendapati sesuatu yang lain dari Tristan.
"Sekarang bilang sama aku, kamu gak akan pergi lagi kan?"
"Iya kan?"
"Maaf." kata Tristan.
"Aku bilang jangan minta maaf terus!!"
"Maaf."
"Tristan pliss!" pada akhirnya Anya kembali mendekap tubuh Tristan lebih erat, seakan tidak mau lagi melepaskan. Tangisannya entah sudah tumpah sebanyak apa, mungkin setara dengan intensitas hujan malam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbit[✔]Tomorrow•Esok Tak Pernah Datang
Ficção AdolescenteSEBAGIAN PART DI UNPUBLISH DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN:) "Tristan, seperti apa bentuk cahaya di atas langit sana? Kakak hampir lupa. Apa kelihatannya sekecil harapan untuk kakak bisa lihat mereka lagi? Apa intensitas terangnya mampu malampaui harapa...