Seperti bintang-bintang di balik awan
Aku akan menguburnya sampai momen terkecil pun.
Dan tidak akan mencoba memaksakan diri untuk menghapusnya. Seperti musim yang berlalu,
Seperti hari yang akan datang lagi.
Kau hanya harus hidup bahagia...-Chen•Reminisce-
📌
Wajib vote sebelum baca!!○○》《○○
Sebuah malam yang biasanya di isi dengan gelakan tawa kini di isi dengan tangisan, malam yang biasanya di kelilingi kebersamaan, kini mereka justru berpencar dan memilih menikmati kesendirian masing-masing. Malam hari yang biasanya mereka pakai untuk obrolan-obrolan hangat di teras rumah, kini yang ada hanya kebisuan dari satu sama lain yang seakan-akan memang sengaja mereka ciptakan.
Di antara hawa dingin yang menyeruak masuk dari pintu yang dibiarkan terbuka, ayah duduk di depan televisi yang lagi-lagi dibiarkan menyala tanpa ada yang menonton. Hujan deras kembali mengguyur ibu kota malam itu, intensitasnya yang cukup deras di sertai angin kencang tak jarang membuat ayah beberapa kali merasakan air hujan turut masuk akibat terbawa angin. Tapi biarpun begitu dingin, malam itu ayah malah membiarkan pintu rumah terbuka lebar. Dalam tatapan kosongnya yang mengarah ke luar, ayah berharap dan mengandai-ngandai Tristan akan datang, mungkin setelah itu baru dia bisa menutup pintu rapat-rapat.
Lelaki itu menunduk tepat ketika air matanya kembali lolos, di tangannya dia genggam satu figura potret Tristan sewaktu kecil dulu. Sebuah foto yang lagi-lagi membuat dia sadar, anaknya masih terlalu kecil untuk pergi begitu cepat bahkan mendahuluinya.
"Loh-loh kamu kenapa? Kok nangis gitu?" Ayah terheran-heran ketika mendapati Tristan turun dari tangga sembari menangis deras, niatnya yang ingin membuat kopi di urungkan dulu. Di bawanya tubuh kecil Tristan duduk dalam pangkuannya.
"Tristan kenapa? Berantem sama kakak?" Tanya ayah kala itu, tangannya lalu terangkat untuk sebatas menyeka keringat di kepala Tristan juga air mata anak ini yang terus turun.
"Di marahin bundaa!!!" Tristan akhirnya menjawab, biarpun begitu suaranya tidak terdengar jelas sebab tangisannya lebih kencang lagi daripada bicaranya.
Ayah terkekeh sebentar, sudah biasa Tristan mengadu kalau-kalau Jovan tidak mau mengalah atau bunda memarahinya. "Bunda pasti punya alasan kenapa marah, Tristan nakal?"
Di pangkuannya anak itu menggeleng, sementara tangisan yang keluar semakin kencang seakan tak terima akan penyalahan dari ayah. Tapi sebelum ada jawaban-- dari atas bunda turun ke bawah terus malah lanjut mengomel.
"Kakak kan lagi belajar, Tristan jangan ganggu dulu! Udah bunda bilangin malah gak mau dengerin."
Ayah yang mendengarkan memberi isyarat bunda lewat mulut dan tangannya, meminta wanita itu untuk menyudahi omelannya dulu karena tangis Tristan justru semakin kejer didengarnya.
Setelah bunda kembali ke atas, ayah kembali berusaha menenangkan Tristan dengan segala cara. Dari mulai menggoyang-goyangkan kakinya, mengelus pucuk kepala anak itu, sampai bercerita kisah tentang legenda rawa pening.
"Ya iya, terus setelah lidinya berhasil di cabut langsung deh air keluar dari dalam tanah sampai semua yang ada di sana tenggelam, Byurr."
"Anak kecilnya tenggelem juga?" Tristan akhirnya mulai fokus dengan cerita ayah, tangisannya sudah berhenti sejak ayah menceritakan bagian konflik dari ceritanya.
"Ya enggak dong, dia kan sakti."
"Aku pengen sakti juga." kata Tristan, Ayah tertawa-tawa, padahal kalau boleh jujur saat itu ayah juga sudah lumayan lupa dengan kisah rawa pening; jadi refleksnya terpaksa membuat dia mengarang sedikit cerita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbit[✔]Tomorrow•Esok Tak Pernah Datang
Novela JuvenilSEBAGIAN PART DI UNPUBLISH DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN:) "Tristan, seperti apa bentuk cahaya di atas langit sana? Kakak hampir lupa. Apa kelihatannya sekecil harapan untuk kakak bisa lihat mereka lagi? Apa intensitas terangnya mampu malampaui harapa...