Agak sedih rasanya karena semenjak Tristan pergi, readers juga ada yang pergi beberapa hehe. Tapi gapapa, aku tetap pada pendirian ini😊 Terimakasih yang mau bertahan sampai sejauh ini❤
💔💔💔
Walau masih bisa senyum
Namun tak selepas dulu
Kini aku kesepianKamu dan segala kenangan
Menyatu dalam waktu yang berjalan
Dan aku kini sendirian
Menatap dirimu hanya bayangan-kamu dan kenangan-
📌
Wajib vote sebelum baca!!
○○》《○○
Dua tahun lebih tidak mengendarai sepeda motor, Jovan awalnya sempat risau takut kalau dia melupa cara menggunakan kendaraan ini. Tapi untungnya setelah pemanasan ibarat kembali beradaptasi dengan jalanan dan aktivitas berkendara, dengan cara berkeliling komplek. Pada akhirnya dia mulai terbiasa lagi menggunakan sepeda motor.
Pagi-pagi sekali Jovan menstandar motor di halaman rumah. Bukan motor dirinya yang lama menjadi fosil di gudang, tapi dia lebih memilih menggunakan motor Tristan alih-alih kembali mengurus motor kesayangannya yang lama tidak terpakai.
Hembusan angin beserta embun pagi menyentuh permukaan kulit serta menelusup pori-porinya membawa hawa dingin juga ketenangan sendiri. Selama beberapa saat fokus matanya tertuju pada jejeran rumput-rumput liar di depan rumah yang bergoyang-goyang di tiup angin; membawa sejuk bergilir, juga sebuah penayangan yang secara tiba-tiba terlintas di pikirannya.
"Waktu gue belajar naik sepeda, gue selalu ngerasa takut jatuh. Tapi pas tahu kakak di belakang, rasa takut itu hilang."
"Sama kayak kakak bertahan sampe sekarang. Setiap kali bangun dari tidur, kakak selalu takut. Karena tidur sama bangun gak ada bedanya, tapi setelah kakak rasa ada kehadiran seseorang entah itu kamu, bunda atau ayah yang nuntun kakak sampai ke meja makan, lalu denger kalian bicara. Rasa takut itu sedikit-sedikit hilang."
Di sadarkan oleh lewatnya sebuah mobil di hadapan, bayang-bayang itu seketika lenyap. Angin, cuaca, hujan, bahkan keberadaan embun pun mampu membuatnya refleks mengingat hal yang sudah lama terjadi. Rumah sejujurnya tidak pernah sepi; akan ada saatnya ayah memanggil dirinya untuk minum teh sembari berbincang-bincang di teras rumah sebatas membicarakan masa depan, kadang terselip masalah politik indonesia jaman sekarang. Kadang juga ada saatnya bunda meminta tolong untuk sekadar membantunya mencuci piring kotor atau mengangkat jemuran.
Hari demi hari berjalan semestinya, kesedihan dari satu sama lain sudah tidak mereka perlihatkan sekentara sebelum-sebelumnya. Tapi entah kenapa Jovan tiba-tiba merindukan kehadiran Tristan dengan baju tidur teddy bear-nya, entah kenapa tiba-tiba Jovan merindukan suara cempreng anak itu atau wajah lesunya kalau pagi-pagi begini sering kena omel bunda lantaran susah dibangunkan.
Sekilas dalam pikirannya tersirat sebuah pertanyaan; kapan dia bisa bertemu Tristan lagi? Dan kalau seandainya bisa, dimana? Mungkin jawaban pastinya saat ini hanya tertuju pada satu pilihan yaitu mimpi.
"Kak?" bunda memanggil dari dapur, Suaranya cukup besar sehingga lamunan itu buyar dengan sendirinya.
"Udah, beli nasi uduknya?"
Pintu utama rumah terbuka perlahan-lahan, lagi-lagi hanya kesepian yang Jovan dapati di sana. "Udah bund."
Bunda tidak banyak bicara, tangannya masih sibuk berkutat dengan beberapa tumpukan piring kotor yang sedang di olesi sabun, sarung tangan karet merah muda membalut tangan wanita itu. Jovan duduk di kursi-meja makan, diam dan hanya memperhatikan gerak gerik bunda. Ayah sudah berangkat sejak pagi tadi, jadi di rumah hanya ada mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terbit[✔]Tomorrow•Esok Tak Pernah Datang
Fiksi RemajaSEBAGIAN PART DI UNPUBLISH DEMI KEPENTINGAN PENERBITAN:) "Tristan, seperti apa bentuk cahaya di atas langit sana? Kakak hampir lupa. Apa kelihatannya sekecil harapan untuk kakak bisa lihat mereka lagi? Apa intensitas terangnya mampu malampaui harapa...