Bel istirahat berbunyi, Arfa, Bara dan Dyo sedang berkumpul di basecamp.
Pagi tadi Arfa berangkat dengan mood yang buruk karena tiba-tiba saja Kakaknya datang dan memaksa Arfa untuk makan di meja makan bersama seluruh anggota keluarga.
Sejak kepergian sang ibunda, Arfa memang tidak pernah makan di meja makan bersama keluarganya. Ia lebih suka makan sendiri dikamarnya, dari pada harus makan bersama orang-orang yang ia benci.
Jika tidak ada Dinar dan Louis, mungkin Arfa bisa saja nekat keluar dari rumah itu dan memilih tinggal di apartemen sendiri. Karena memang hanya mereka berdua orang yang benar-benar Arfa sayangi dirumah itu.
Arfa adalah tipe orang yang keras kepala, sangat keras kepala. Ia biasanya tidak mudah untuk dibujuk kecuali oleh Kakaknya dan Louis.
Jadi mau tidak mau, ia harus makan satu meja dengan Ayahnya atas dasar bujukan dari sang Kakak.
Seperti biasa, mereka selalu saja membahas tentang pekerjaan dimeja makan. Dan itu membuat Arfa sangat muak, yang membuat dirinya berakhir meninggalkan meja makan sebelum menyelesaikan makanan nya.
"Ini gimana ceritanya sih, kita bakal satu tim sama cewek rese itu?!" Ucap Arfa kesal, kedua alisnya nampak tertekuk karena masih tak percaya dengan keputusan kepala sekolahnya yang tak mau dibantah.
"Ya mau gimana lagi, orang dia mampu." Bara mendekati Arfa dan duduk disampingnya. "Lagian ya, Fa. Kan dari awal Revan udah ngasih peringatan sama lo, kalau jangan benci tuh cewek secara berlebihan. Kalau udah kayak gini gimana? Tengsin sendiri kan."
"Iya Fa, gue bener-bener nggak mau kalau harus kehilangan dia di tim. Secara, lo denger sendiri prestasinya kayak apa. Ibaratnya nih ya, kita udah kayak kehilangan mutiara tapi malah nemuin Berlian. Sekarang terserah kalian deh kalau masih keberatan, tapi gue bener-bener berharap dia bisa gabung." tambah Dyo. Anak laki-laki itu jelas tidak sedang bercanda.
Kini ketiganya terdiam, sama sekali tak ada suara. Mereka seperti sedang tersihir menjadi bisu, hingga akhirnya Revan memasuki ruangan itu dan bergabung dengan teman-temannya.
"Hai." Revan memicing bingung karena tak ada jawaban dari teman-temannya.
Kemudian anak laki-laki itu melihat keseluruh ruangan yang mereka sebut 'basecamp' itu. "Ini pada kenapa sih? Tumben diem?" tanya Revan. "Lo pada nggak lagi kesambet kan?" tambahnya yang langsung dapat jawaban heboh dari Bara dan Dyo.
"Coy-coy! Amit-amit!" Dyo mengtuk-ngetuk meja dan kepalanya beberapa kali secara bergantian.
"Amit-amit! Revan, lo kalau ngomong,buset." Bara tampak sedikit panik. "Nih anak jarang ngomong, sekalinya ngomong malah gitu."
Revan tersenyum lebar, anak laki-laki itu hanya bisa bersikap seperti itu jika bersama dengan ketiga sahabatnya. "Lagian, pada diem kayak patung gitu. Kenapa sih?"
Dyo menunjuk Arfa dengan dagunya. Sedangkan yang ditunjuk malah asik bergelut dengan pikirannya sendiri.
"Fa!" panggil Revan. Namun tak ada jawaban dari Arfa.
"ARFA!!" Revan sedikit berteriak.
"Tck! Apa sih?!" tanya Arfa kesal. Pp
"Masih kepikiran tentang Aira ya?" tanya Revan.
Lama tak ada jawaban, Revan menggelengkan kepalanya menatap Arfa. Lalu mulai sibuk dengan ipad miliknya.
Lama tak ada suara yang terdengar di diruangan itu. Hening mulai melanda, keempatnya kini terfokus pada ponsel masing-masing.
Arfa mengusap wajahnya frustasi. "I want to talk to that girl!" serunya tiba-tiba.
Seketika Bara dan Dyo saling bertukar pandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZATARFA (On Going)
Dla nastolatków"perihal masa putih abu-abu yang tak akan pernah terlupakan" ••••• Zunaira Linka Alivia. "Gue? Suka sama salah satu dari mereka? No way!!" ~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~•~• Zatarfa Cadfael Adijaya. "Gue bakal dapetin apapun yang gue mau, termasu...