Tujuh tahun kemudian.
"Bahiyya."
"Hm," gumam anak perempuan kecil tengah duduk di atas sofa sendirian.
Gadis kecil berusia enam tahun tersebut sama sekali tidak berminat menatap sang Ibu walau sudah dipanggil beberapa kali. Malaka menghela napas, berusaha tetap sabar menghadapi sikap Bahiyya.
Bayi yang dikandung Malaka waktu itu lahir dengan normal dan sehat, bayinya berjenis kelamin perempuan yang diberi nama oleh Dimar—Bahiyya Mahaprana—ya, putri Malaka memiliki nama belakang keluarga Dimar.
Bagaimana Dimar memperlakukan Malaka dan Bahiyya selama ini?
Tentu saja sangat baik. Tidak sekali pun Dimar memperlakukan Malaka seperti orang asing, atau Yayya—nama panggilan Bahiyya—seperti bukan putrinya. Dimar bahkan sangat memanjakan Yayya. Walau..., sikap Yayya justru berbanding balik kepada Malaka.
Semua ini karena ulah Awan. Biarpun Malaka tidak pernah melihatnya secara langsung bagaimana cara Awan mencuci otak Yayya agar membenci Ibu kandungnya sendiri.
Setelah Malaka melahirkan Yayya, Malaka bersiap untuk pergi ke sekolah kembali melanjutkan pendidikan seperti yang diinginkan suami dan Ibu mertuanya. Malaka sama sekali tidak merasa terbebani dengan permintaan tersebut. Justru Malaka senang karena ia mendapat dukungan penuh untuk menyelesaikan pendidikannya.
Ketika usia Yayya menginjak enam bulan, Malaka akhirnya resmi melanjutkan sekolahnya yang sempat berhenti karena kondisinya yang tengah hamil Yayya waktu itu. Tentu, Malaka merahasiakan identitasnya sebagai Ibu dan seorang istri di rumah. Di sekolah, ia hanya seorang gadis remaja berusia delapan belas tahun. Ia belajar, berteman, sementara di rumah, ia melakukan tugas-tugasnya sebagaimana seorang istri dan Ibu dari seorang putri.
Malaka menghabiskan waktunya dengan banyak belajar, mengerjakan tugas sampai ia ketiduran di meja belajarnya. Namun ketika ia terbangun, ia sudah berada di atas ranjang kamarnya.
Sudah tidak terhitung berapa banyak kali Dimar membuatnya merasa terharu. Lelaki itu selalu memberinya dukungan, serta dorongan untuk Malaka agar tidak berhenti berjuang walau banyak hal berat yang dilaluinya.
Menjadi pelajar, istri, sekaligus Ibu sama sekali tidak berat bagi Malaka. Ia menikmati kehidupannya dengan damai, sampai di usia Yayya yang kedua tahun, saat itulah Malaka mulai tidak tenang.
Awan, telah membuat seorang anak membenci Ibu kandungnya sendiri.
"Bahiyya Mahaprana," panggil Malaka sekali lagi.
"Apa?" sahut Yayya. Tatapan gadis kecil itu sama sekali tidak senang.
"Ayo, makan dulu. Nonton TV-nya kan bisa nanti."
Yayya malah berbaring di atas sofa. "Aku mau makan kalau Ayah udah pulang."
"Ayah pulangnya masih malam, Yya," jawab Malaka berusaha memberi pengertian. "Sekarang kamu makan dulu, ya. Nanti kalau Ayah tahu kamu makannya telat, Ayah bisa marah."
"Marah sama siapa?" sahut Yayya, ketus.
Sesungguhnya Malaka tidak tahu apa yang dikatakan Awan kepada putrinya. Kata-kata apa yang dilontarkan Awan sampai Yayya enggan menatapnya sebagaimana seorang anak ke ibunya.
Baiklah, Malaka mengaku salah. Pernah suatu hari Awan tiba-tiba muncul di sekolah Malaka. Saat itu Malaka baru keluar bersama teman-temannya. Mereka sedang berunding mencari kafe atau kedai kopi di dekat sekolah untuk mengerjakan tugas. Tapi, kemunculan Awan mengganggu Malaka. Teman-teman Malaka mulai bertanya siapa lelaki yang tengah melambaikan tangan ke arahnya sembari membawa anak perempuan yang digendongnya.
Malaka tidak memiliki pilihan selain itu Kakak dan adik perempuan Malaka paling bungsu—tepat di depan Awan dan Yayya. Malaka merasa bersalah karena kejadian itu. Ia menjadi tidak fokus mengerjakan apa pun.
Memang, Awan sering kemari. Bahkan pernah memaksa tinggal di rumah Dimar, dan Malaka tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai akhirnya, Awan dijodohkan oleh kedua orang tuanya, lalu menikah. Iya, menikah dengan seorang perempuan.
Apa Awan dan Dimar masih bersama?
Iya, masih.
Malaka dan Dimar cukup dekat, namun bukan seperti hubungan suami dan istri. Tapi lebih ke Kakak dan adik perempuannya. Malaka sebisa mungkin tidak ingin ikut campur urusan Dimar dengan Awan. Apa pun hubungan mereka berdua, itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Malaka. Cuma, Malaka merasa sakit hati atas perlakuan Awan. Apa salah Malaka kepada lelaki itu, sih? Kalau Awan membenci Malaka, cukup balas saja kepada Malaka. Jangan menjadikan Yayya sebagai alat balas dendamnya kepada Malaka.
Sampai hari ini Malaka menganggap Dimar tidak lebih dari seorang Kakak. Terlepas dari status mereka, Malaka berani bersumpah ia tidak memiliki perasaan sayang lebih dari seorang adik kepada kakaknya. Itu saja, toh, suatu hari nanti ia dan Dimar akan tetap bercerai.
"Sampai kapan kamu mau jadi suaminya Malaka?"
"Setelah Malaka menyelesaikan pendidikannya, dan menemukan lelaki yang tepat. Saat itu, aku dan Malaka akan bercerai."
Itu yang ia dengar tanpa sengaja di ruang kerja Dimar. Sekarang ia sudah berusia dua puluh empat tahun. Kini ia memiliki profesi sebagai seorang perawat di salah satu rumah sakit di Ibu Kota. Ia berhasil menyelesaikan pendidikannya, menggapai cita-citanya. Tapi, Malaka tidak yakin ia akan menemukan lelaki yang lebih baik dari Dimar. Jika suatu hari mereka sungguhan bercerai, Malaka akan memilih hidup sendiri sampai ia menutup usia.
"Bahiyya!"
Gadis kecil berusia enam tahun itu sontak bangun lalu duduk. Kepalanya berputar ke arah pintu. Wajah lesunya tadi berubah menjadi sumringah ketika menemukan Awan muncul di hadapannya sembari membawa kantong berisikan makanan kesukaan Yayya.
"Om Awan!" Yayya balas berseru, melompat turun dari sofa menghampiri lelaki itu.
Rasanya Malaka ingin menangis melihat putrinya lebih menyukai lelaki itu daripada dirinya. Malaka cuma bisa melihat kedekatan mereka, memaksa untuk berbaur pun, kehadiran Malaka cuma dianggap angin lalu.
"Om bawa makanan kesukaan kamu. Pasti kamu belum makan, kan? Yuk, Om temani kamu." Awan menggandeng tangan kanan Yayya, berjalan melewati Malaka dengan tatapan sinis.
Awan sungguh membenci perempuan itu. Malaka telah membuat lelaki yang dicintai Awan harus terjebak pada pernikahan ini. Membuat Dimar mau tidak mau menerima Yayya sebagai putrinya. Bahkan seluruh keluarga Mahaprana tahunya Yayya adalah putri kandung Dimar. Bagaimana jika seandainya mereka semua tahu siapa Yayya sebenarnya?
Kalau Awan jahat, Awan sudah mengadukan hal ini kepada Ibu beserta adik-adik Dimar. Tapi karena Awan masih mempunyai hati, Awan menahan diri, biar saja nanti mereka tahu sendiri.
Malaka berdiri tidak jauh dari meja makan, menatap kedekatan Awan dan putrinya dengan tatapan nelangsa. Malaka menunduk menghapus kedua sudut matanya yang berair. Setiap ada Awan kemari, Malaka hanya dianggap sebagai orang asing oleh putrinya. Tidak peduli seberapa banyak kerasnya usaha yang Malaka lakukan agar putrinya mau menengok saja, akan tetap dianggap angin lalu. Malaka hampir putus asa berada di situasi ini. Beruntung ada Dimar yang terus berada di sisinya, memberi nasihat supaya Malaka tetap mau bersabar menghadapi Yayya walau sulit.
Kepala Malaka terangkat, ia melirik Yayya yang tengah disuapi oleh Awan di meja makan. Malaka pergi ke pintu setelah mendengar seseorang mengetuknya beberapa kali, sangat kuat, Malaka pikir, jelas itu bukan suaminya. Untuk apa Dimar pulang masih mengetuk pintu saat ingin masuk ke rumahnya sendiri?
Tangan kanan Malaka menarik pintu, lantas membukanya hingga setengah. Seorang perempuan berambut panjang sebahu, mengenakan gaun berwarna merah menyala muncul di hadapannya. Tatapannya naik turun seolah memerhatikan penampilan Malaka.
"Maaf. Kakak lagi cari siapa, ya?" tanya Malaka, setelah perempuan itu malah diam cukup lama.
"Kamu," jawabnya.
Dan, bugh!
Tiba-tiba perempuan itu menghantamkan tas hitamnya ke kepala Malaka dengan sangat kuat.
To be continue---
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
Ficção GeralMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...