Awal masuk ke dalam keluarga Mahaprana, Malaka tidak diterima dengan mudah oleh Ibu dan ketiga adik perempuan Dimar. Ibu mertuanya memang tidak pernah menatap sinis atau melempar sindiran seperti kedua adik Dimar—Myeesa dan Rassi. Sementara adik tertua Dimar memilih mengabaikan Malaka. Setiap kali Malaka menyapa Kanyes—adik Dimar yang paling tua, perempuan itu hanya menatapnya dari bawah hingga ke atas seolah mengejek. Malaka sama sekali tidak marah apa lagi membalas perlakuan keluarga Mahaprana. Karena Malaka tahu tempat, ia sadar diri bagaimana bisa ia masuk ke dalam keluarga Dimar. Tentu mereka tidak semudah itu menerima dirinya.
Dari tahun ke tahun Malaka memendam. Ia tidak berani mengeluh kepada Dimar. Jika ia mengadu, Dimar bisa bertengkar dengan keluarganya. Malaka hanya bisa bersabar. Dan buah dari kesabarannya, satu per satu keluarga Dimar mulai menerima Malaka. Bahkan Ibu mertuanya begitu menyayangi dirinya. Dimar selalu diwanti-wanti agar tidak membuat masalah apa lagi sampai berani selingkuh.
Apa Malaka senang setelah mereka akhirnya bisa menerima dirinya? Tentu saja Malaka senang. Ia mendapat kasih sayang berlimpah, perhatian, Malaka menemukan keluarga keduanya walau harus melewati banyak hal kurang menyenangkan.
Meriam melarang Dimar mengajak anak dan istrinya pulang ke rumah. Meriam memerhatikan kesehatan menantunya. Akhir-akhir ini Malaka kelihatan agak lesu. Beda daripada biasanya. Ditambah Diame sedang sibuk pulang-pergi untuk urusan pekerjaan. Meriam pikir, di sini Malaka dan Yayya akan lebih aman. Meriam takut terjadi sesuatu saat Malaka sendirian di rumah.
"Makan dulu buahnya, La. Kamu masuk shift siang? Biar nanti diantar sama supir. Jangan berangkat sendiri. Nanti Ibu bisa kena omel Dimar." Meriam mengambil duduk di samping menantunya.
"Iya, Bu." Malaka duduk bersandar ke punggung sofa sembari menatap Yayya bersama kedua sepupunya lari-larian di sekitaran tangga. "Yya, mainnya berhenti dulu. Kamu belum makan dari pagi. Ibu ambilin makan, ya. Kamu duduk dulu di sebelah Nenek sini."
Meriam ikut menatap Yayya. "Belum mau makan juga dari tadi?"
Malaka beranjak dari kursi. "Iya. Yayya susah dibujuk makan kalau bukan sama ayahnya, Bu."
"Kamu duduk aja. Biar Ibu yang ambilin nasi buat Yayya."
Malaka menahan lengan Ibu mertuanya, lantas menggeleng. "Ibu dari tadi udah repot nyiapin aku ini itu. Ibu aja yang duduk. Aku cuma ambil makan aja, kok."
Sepeninggal Malaka ke dapur mengambil makanan untuk anaknya. Meriam melambaikan tangan memanggil sang cucu. Yayya seketika berhenti lari-larian kemudian duduk di sebelah neneknya. Yayya cukup penurut selama bukan Malaka yang menyuruhnya.
Malaka kembali membawa piring dan gelas yang telah terisi. Ia mendekati Yayya yang telah duduk di atas sofa tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Malaka duduk lalu memangku piringnya. Sementara gelasnya ia taruh ke atas meja di depannya.
"Nggak mau!" jerit Yayya menutup bibirnya setelah itu.
"Dikit aja, Yya. Kamu belum makan sama sekali, lho." Malaka membujuk Yayya dengan sabar.
"Aku cuma mau makan kalau Ayah yang suapin!" Yayya terus menggelengkan kepalanya. Ia menolak disuapi oleh ibunya.
"Disuapin sama Nenek, mau?" Meriam turun tangan membujuk cucunya.
"NGGAK!" bentak Yayya.
"Yayya!" Malaka tanpa sadar membentak Yayya dengan suara keras dan kuat. Gadis kecil berusia enam tahun tersebut sampai kaget. Ini pertama kalinya sang Ibu membentaknya. "Minta maaf sama Nenek. Ibu sama Ayah nggak pernah ajarin kamu kasar sama orang tua. Niat Nenek kan baik mau suapin kamu. Nggak boleh kayak gitu," ujar Malaka dengan nada sedikit lebih pelan dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
General FictionMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...