"Iya, Yya. Tunggu, ya. Ayah buka pintu dulu!" seru Dimar, melompat dari ranjang kecilnya sembari memasang kancing bajunya sebelum mencapai pintu.
Di atas ranjang yang sama, Malaka duduk juga memasang kancing bajunya yang sempat dibuka Dimar. Malaka merapikan rambutnya, kemudian menuruni ranjang dengan buru-buru.
Dimar berdiri di depan pintu, menarik napas lalu mengembuskannya sebelum membukanya. "Kak, ngapain? Malah bengong di depan pintu?" tegur Malaka menepuk punggung lebar suaminya.
"Ini lagi dibuka, La." Dimar memutar kunci pintu lalu membukanya.
Di depan mereka, Yayya sudah menangis keras karena kedua orang tuanya tidak kunjung membukakan pintu untuknya. Ia tidur lebih awal dari Ayah dan ibunya. Tapi saat ia terbangun, tiba-tiba ia sendirian. Tidak ada Ayah dan Ibu di kanan dan kiri di sampingnya seperti biasa.
Alasan Malaka kurang setuju Yayya punya kamar sendiri, karena Yayya itu penakut. Anaknya juga agak sedikit peka. Saat usia Yayya berusia dua atau tiga tahun, Yayya sering kali melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang tuanya. Tidak jarang Yayya rewel di tengah malam, lalu akan berhenti setelah Azan Subuh berkumandang.
"Udah, udah. Jangan nangis," bujuk Dimar menggendong Yayya. "Maaf, ya. Ayah sama Ibu nggak sengaja ninggalin Yayya di kamar sendiri."
Suara tangis Yayya agak mereda begitu melihat kedua orang tuanya. Dimar menyeka air mata di pipi Yayya, bergumam minta maaf sesekali menciumi rambutnya.
"Tuh, gitu mau dibikinin kamar sendiri, Kak." Malaka berbisik di belakang Dimar, memeluk lengan suaminya sembari berjalan ke kamar mereka bertiga.
"Belum juga dibujuk, La," bisik Dimar.
Yayya akan dibaringkannya ke atas ranjang, namun gadis kecil itu menolak. Ia terus menggelengkan kepala kemudian menyembunyikan wajahnya ke bahu Dimar. Yayya terisak, mengalungkan kedua tangan ke leher sang Ayah. Agaknya, Yayya sempat melihat sesuatu sebelum menangis.
"Ayah mau ke kamar mandi dulu. Sama Ibu, ya? Bentar aja, Yya," bujuk Dimar menyentuh kedua sudut mata Yayya. "Ayah nggak lama, kok."
Yayya menatap Malaka sebentar. Walau ia tidak mengatakan apa-apa selain menangis, Yayya telah berpindah ke pelukan ibunya.
"Baunya Ibu, kayak baunya Ayah," celetuk Yayya memegangi hidungnya yang merah.
Kaki Dimar hampir tersandung mendengar celetuk kan putrinya. Ia dan Malaka saling melempar tatap, Dimar menggaruk kulit kepalanya sebelum bergegas pergi ke dalam kamar mandi.
Yayya sampai mengendus rambut dan leher ibunya. "Iya, kayak baunya Ayah."
Malaka menjadi salah tingkah. Malaka memangku Yayya di atas kedua pahanya. Ia mengambil karet kecil dari dalam laci untuk mengikat rambut panjang Yayya. Malaka mengelus pipi sang putri, menghujani kecupan ringah ke rambut serta pipi Yayya.
"Yayya juga bau parfumnya Ayah." Malaka bergumam, sebelah tangannya menahan punggung Yayya. "Mungkin karena Yayya tadi digendong sama Ayah, jadinya parfum Ayah nempel."
Tiba-tiba Yayya berhenti menangis. Bersamaan itu, Dimar keluar dari kamar mandi. "Ibu juga digendong Ayah?"
"Hah?" Malaka bengong, ia salah membuat alasan.
Gadis berusia enam tahun tersebut mengerjapkan sepasang netranya, menunggu jawaban sang Ibu. Malaka justru bingung harus memberikan reaksi.
"Nggak, dong." Malaka memberi jawaban sembari tertawa bingung. "Itu... karena Ibu pakai parfum yang sama kayak punya Ayah."
"Masa?" sahut Yayya, seolah tidak percaya.
Dimar segera mengakhiri kecanggungan di antara mereka. Ia menghampiri istri dan anaknya di ranjang, menyentuh puncak kepala Yayya. Dan benar saja, Yayya sontak melupakan percakapan barusan. Ia telah berada digendongan ayahnya, dan mulai tenang ketika punggungnya diusap naik-turun.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
Ficción GeneralMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...