Sepasang netra lelaki itu menatap ke layar ponsel. Sedari tadi benda persegi di tangannya tidak berhenti berbunyi, sangat berisik, padahal ia sudah mengabaikannya.
Lelaki itu menghela napas, mencoba menahan diri agar tidak mengangkat telepon atau membalas pesannya.
Ponsel itu berakhir dengan diletakkannya ke atas meja di samping ranjang. Dari tempat tidur di ruangan bercat putih yang tengah ia huni sekarang, ia menatap ke arah jendela. Bau khas rumah sakit tercium sangat tajam.
Seorang perawat mengetuk pintu, lantas masuk menyapa Awan. Perawat perempuan itu memberi beberapa pertanyaan kepada Awan lalu mencatatnya.
Awan setengah membaringkan badan, kepalanya menoleh ke atas meja. Menatap ponsel yang ia biarkan tergeletak begitu saja.
***
Dimar mencoba menelpon ke nomor Awan sekali lagi. Setiap hari ia mencoba menghubungi nomor lelaki itu, tapi tidak pernah sekali pun Awan mengangkatnya.
Ia menyerah menghubungi Awan untuk hari ini. Besok, ia akan mencobanya sekali lagi. Perasaannya menjadi kurang tenang karena Awan tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
"Kak, ayo turun dulu buat makan. Ibu sama yang lain udah nunggu di meja," seru Malaka menyembulkan setengah badannya ke pintu.
Dimar menyimpan ponselnya ke dalam laci. Ia beranjak dari kursi, menghampiri Malaka di depan pintu. Dimar balas tersenyum saat tatapan mereka saling bertemu.
Dirangkulnya bahu Malaka, ia cium puncak kepala istrinya—yang telah menjadi kebiasaan Dimar sekarang. "Kakak kenapa murung? Kakak sakit?" Malaka mengangkat kepalanya dan menatap wajah Dimar.
"Nggak, aku nggak sakit." Dimar menggeleng.
"Kakak kelihatan lagi ada yang dipikirin." Malaka bergumam, memegang tangan suaminya yang menggantung di bahu kanannya.
"Cuma ngantuk aja mungkin," gumam Dimar.
"Habis makan langsung istirahat ya, Kak. Jangan kerja terus. Kakak bisa sakit nanti."
"Iya, La."
Kata hati Malaka mengatakan sedang ada yang dipikirkan suaminya. Entah apa, entah soal pekerjaan atau justru Awan. Malaka sadar Awan tidak pernah lagi datang ke rumah mereka seperti biasanya. Dimar juga tidak kelihatan berbicara dengan Awan di telepon. Sampai Yayya dengan cerewet menanyakan lelaki itu kenapa tidak pernah datang menemuinya lagi.
Diam-diam Malaka memikirkannya setiap hari. Bertanya, hubungan jenis apa yang terjalin antara dirinya dengan Dimar? Status mereka memang suami dan istri. Tapi hati Dimar? Apa Malaka sudah menang sepenuhnya? Menggeser posisi Awan yang telah berada di sisi Dimar selama bertahun-tahun?
Hubungan keluarga mereka kian harmonis. Ia dan Dimar juga rutin melakukan kegiatan malam, sembunyi-sembunyi dari Yayya, bahkan mereka sering melakukannya di ruang kerja Dimar karena takut Yayya memergoki mereka.
Selama kegiatan itu berlangsung, Dimar terlihat normal saja. Bahkan Dimar jauh lebih semangat daripada Malaka. Dan jujur saja, Malaka agak kuwalahan menghadapi Dimar soal rutinitas ranjang mereka. Ada saja kalanya Dimar mengambil kesempatan. Seperti menciumnya tiba-tiba, atau dengan jahilnya Dimar menyentuh bokong dan dadanya ketika sedang berdua.
Malaka duduk di sebelah Dimar, sementara Yayya, gadis kecil itu berpindah duduk ke pangkuan ayahnya, meminta disuapi seperti biasanya.
"Ibu aja yang suapin Yayya, ya? Ayah lagi makan." Tapi Yayya tidak mau. Ia hanya ingin disuapi ayahnya.
"Nggak apa-apa, La. Aku bisa suapin Yayya sambil makan," ujar Dimar mengelus rambut panjang Malaka.
Meriam melihat piring Malaka masih kosong. Di saat yang lain sibuk mengunyah makanan, Malaka justru cuma diam saja sembari menatap menu makana di atas meja dengan tatapan sendu.
"Kamu nggak makan, La? Kenapa? Nggak cocok sama menunya?" Meriam menegur menantunya dengan lembut.
Malaka tersadar. Kini ia menjadi perhatian oleh semua penghuni di meja makan, termasuk suami dan putrinya. "Nggak, Bu. Makanan Ibu enak semua, kok."
"Terus kenapa nggak makan?" Meriam dengan perhatian menuangkan nasi beserta lauk ke atas piring Malaka.
Malaka menelan ludah susah payah. Sejujurnya ia sedang tidak selera makan. Setiap kali melihat makanan, perutnya terasa mual.
"Dari tadi Malaka belum makan apa-apa, Bu." Rassi, adik bungsu Dimar, mengadu kepada sang Ibu. "Aku beliin bakso, Malaka malah muntah-muntah."
Secara otomatis Dimar menengok. "Kamu sakit, La? Kok nggak bilang?" tanya Dimar khawatir.
Malaka membuat yang lain menjadi khawatir. "Aku nggak lagi sakit. Cuma kurang enak badan aja."
"Kamu nih kerjanya di rumah sakit, harus jaga kesehatan, La. Jangan malas makan, terus minum vitamin. Istirahat juga yang cukup." Meriam menasihati menantunya.
"Halah, gimana mau istirahat kalau Kak Dimar ganggu Malaka mulu!" seru Myeesa.
Myeesa terlalu sering memergoki Dimar dan Malaka. Bahkan pernah saat ia menginap di rumah kakaknya, Myeesa mendengar suara aneh yang berasal dari ruang kerja Dimar. Myeesa sudah bisa menebak kegiatan macam apa yang dilakukan Dimar dan Malaka walau tanpa melihat.
Meriam paham ekspresi yang ditunjukkan Myeesa sekarang. Ia melotot kepada Dimar. Anaknya itu, ya ampun! Dibilang mesum terus, tidak mau mengaku. Padahal sudah banyak buktinya.
"Kasih istirahat buat Malaka, Mar," sindir ibunya. "Malaka sampai pucat kayak gitu. Terlalu kerja keras apa gimana kalau malam?"
"Bu." Dimar sampai salah tingkah. "Mau makan di kamar aja? Aku bawain makanan kamu ke kamar, ya."
Malaka menggeleng. "Di sini aja, Kak. Nggak enak makan sendirian di kamar."
"Ayo makan dulu, La. Dikit aja nggak apa-apa. Nanti minum obat sebelum tidur," kata Meriam membujuk menantunya.
Malaka menyendok makanannya tanpa selera. Menghabiskan satu suap saja, rasanya Malaka sudah ingin muntah. Ia menyuapkan makanannya lagi, namun untuk kali ini Malaka sudah tidak tahan lagi. Ia membungkam bibirnya, meminta izin pergi ke kamar mandi setelah perutnya bergejolak, mengeluarkan makanan yang sebelumnya ia telan.
***
"Mau pulang aja?"
Malaka menggeleng. "Kita udah janji mau nginep semalam di rumah Ibu."
"Kamu lagi sakit," bisik Dimar.
Mereka berdua duduk saling berhadapan di atas ranjang. Yayya diungsikan ke kamar Rassi. Meriam mewanti-wanti Dimar agar membiarkan Malaka istirahat, dan tidak boleh mengganggunya.
"Kak, kayaknya...," Malaka menggigit dalam pipinya. Ia menyentuh punggung tangan Dimar, meremasnya sedikit lebih kuat. "Bisa tolong pergi ke apotek, nggak?" tanya Malaka was-was.
"Kamu butuh obat apa? Aku beli sekarang, ya?" Dimar akan beranjak, menyambar kunci mobil hendak pergi.
"Bukan obat sih, Kak..." Entah kenapa, Malaka malah malu mengatakannya.
"Terus apa, La?" Dimar mengernyitkan dahinya, ia menjadi bingung. Ia diminta pergi ke apotek, tapi katanya bukan membeli obat.
"Aku telat," bisik Malaka.
"Telat apa? Kerjanya?"
Malaka mencubit pinggang Dimar. "Aku kan libur hari ini!"
"Iya, La. Terus telat apa?"
Malaka memutar bola matanya. Mendadak ia menjadi begitu kesal kepada Dimar karena tidak kunjung paham.
"Datang bulan, Kak," sembur Malaka, menyilang kedua tangan di dada.
Dalam hati Malaka menggerutu, "Urusan begini lama banget pahamnya. Coba kalau lagi proses!"
To be continue---
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
General FictionMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...