Bohong salah. Jujur tambah salah.
Seperti itu lah situasi yang terjadi sekarang. Dimar pada akhirnya jujur perihal perasaannya kepada Malaka sejak delapan tahun lalu. Sebenarnya Dimar sudah menebak Malaka tidak akan percaya. Tapi Dimar tidak mengira reaksi yang ditunjukkan istrinya justru merugikan dirinya.
"Tega banget kamu nyuruh aku tidur di ruang kerja, La?" Dimar memasang tampang memelas sembari terus berusaha mendorong pintu yang ditahan dari dalam oleh Malaka.
"Yang tega tuh Kakak." Malaka mengerahkan seluruh tenaganya. "Sengaja banget sembunyiin dari aku? Waktu delapan tahun itu nggak sebentar! Aku kira Kakak, tuh...," desah Malaka menahan malu.
Apa Malaka sebodoh itu sampai tidak bisa membedakan mana lelaki normal dan tidak normal sungguhan? Malaka menjadi malu mengingat apa saja yang ia lakukan selama menjadi istrinya Dimar.
Sebelumnya Malaka tidak memiliki pengalaman berteman dengan seorang gay. Tapi yang Malaka tahu, lelaki gay tidak mungkin tertarik dengan perempuan. Itu lah kenapa Malaka santai saja wara-wiri di depan Dimar hanya mengenakan handuk setelah mandi. Dipeluk, dan dicium seperti kebiasaan lelaki itu selama ini. Malaka membicarakan sebelum hubungan mereka ke tahap sekarang.
Pernah suatu hari Dimar tanpa sengaja melihat ia sedang menyusui Yayya di kamar. Dimar pikir Malaka cuma menemani Yayya saja di kasur. Mereka saling melempar tatap. Malaka menarik selimut untuk menutupi dadanya. Tapi setelah ia pikir lagi, bukannya Dimar tidak akan tertarik dengan tubuhnya karena lelaki itu seorang... gay?
"Tidur sendiri nggak enak, La. Di situ sempit banget."
Suara Dimar terdengar lagi, membuyarkan lamunan Malaka lalu perempuan itu meringis lebih keras. Mereka saling dorong mendorong. Malaka tetap tidak mau membukakan pintu.
"Biasanya dipakai berdua juga bisa! Kakak jangan banyak alasan," sungut Malaka.
"Kamu ini aneh banget sih, La. Kamu yang malu, kenapa aku yang nggak dibolehin tidur di kamar kita?" Dimar berhasil mendorong pintu. Ia bisa melihat rona merah di pipi istrinya.
Malaka mengentakkan kaki menahan geram. Dimar mengatakannya seolah santai. Apa lelaki itu tidak tahu seberapa malunya Malaka sekarang? Ia merasa sedang di prank oleh suaminya sendiri. Sampai delapan tahun pula! Siapa yang tidak malu?
Dimar terlalu kuat mendorong pintu kamar mereka. Kedua kaki Malaka secara otomatis terseret mundur ke belakang begitu pintunya dibuka secara paksa. Ia menarik sebelah tangan Dimar, hingga mereka jatuh di lantai.
Bruk!
Dengan cepat Dimar melindungi belakang kepala Malaka agar tidak menyentuh lantai. Perempuan itu meringis sembari memejamkan matanya. Karena suara mereka yang jatuh cukup keras sehingga mengganggu tidur Yayya. Seperdetik kemudian terdengar suara tangisan Yayya dari atas ranjang mereka.
"Tuh, kan! Kakak, ish! Yayya jadi nangis!" omelnya. Malaka menepuk kedua bahu Dimar menyuruh mereka segera bangun dan menghampiri Yayya.
"Ibu..." Adalah panggilan pertama yang disebut oleh Yayya ketika menangis sekarang.
Malaka merangkak naik ke atas ranjang sebelum berbaring tepat di samping putrinya. Malaka menepuk bolong Yayya, serta menciumi rambut gadis kecil itu. Dimar mengambil kesempatan berbaring di tempatnya semula sesekali melirik Malaka yang sibuk menenangkan Yayya.
"Sakit nggak yang tadi?" tanya Dimar setelah menjawil lengan Malaka.
"Masih aja tanya. Sakit lah, Kak. Belum lagi ditimpa sama badan Kakak," gerutu Malaka setengah berbisik. "Nggak usah pegang-pegang! Urusan antara kita belum selesai. Aku masih marah sama Kakak, ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
Ficción GeneralMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...