"ALEX! BUKA PINTUNYA! LEX!"
Belum pernah Dimar semarah ini kepada seseorang. Di mata orang, Dimar tipikal orang paling tenang dan santai. Bahkan ketika marah, Dimar akan memilih diam untuk memenangkan pikirannya lebih dulu sebelum mengambil sebuah keputusan. Namun kali ini, Dimar tidak bisa bersikap tenang.
Bagaimana bisa Dimar tenang—saat tahu jika—istrinya diperlakukan kurang ajar oleh temannya sendiri! Sontak, darah Dimar mendidih. Ia akan membunuh Alex jika berani muncul di hadapannya sekarang.
Tadinya, ia pergi mengantar ibunya ke rumah sakit. Ia menemani ibunya mengantre menunggu giliran dipanggil oleh perawat. Namun saat menunggu, tiba-tiba Awan menelponnya. Mulanya Dimar enggak menjawab, di sampingnya ada Meriam, jika tahu yang menelpon adalah Awan, ibunya akan mengomel lagi.
"Penting. Ini tentang Malaka."
Isi pesan yang dikirim oleh Awan menarik rasa penasaran Dimar. Begitu Awan menelpon ke nomornya, Dimar segera menjauh, mencari tempat sepi untuk mengangkat panggilan tersebut.
Di situ, Awan meminta Dimar untuk pulang terlebih dahulu. Awan tidak menjelaskan secara jelas apa yang terjadi kepada Malaka. Awan cuma berbicara, setengah berbisik, meminta Dimar agar cepat pulang dan melihat sendiri. Perasaan Dimar menjadi tidak tenang. Apa lagi di dalam telepon, ia mendengar isakkan Malaka. Seketika Dimar meminta izin kepada ibunya untuk pulang. Sebagai gantinya, Dimar akan menelpon adik iparnya, menggantikan dirinya menemani sang Ibu.
Sesampainya Dimar di rumah, ia mendapati Malaka duduk meringkuk di atas kasur sembari menangis hebat. Istrinya menjerit histeris, mendorong Dimar seolah tidak ingin disentuh walau itu cuma tangannya.
Awan menjelaskan masalahnya. Saat ia datang kemari, Awan melihat Alex hendak melecehkan Malaka. Di depan mata kepala Awan, Alex berusaha menarik tangan Malaka, menyeret istri Dimar ke kamar. Awan yang melihat itu tentu tidak tinggal diam. Ia bahkan sempat menendang punggung Alex sampai jatuh. Namun lelaki itu berhasil kabur sebelum Awan amankan.
Kalau tahu apa yang dirasakan Dimar saat itu adalah, marah. Cuma marah yang ia rasakan. Keinginannya untuk menghajar Alex sangat kuat. Ia menitipkan Malaka kepada Awan, lantas pergi sambil lari-larian menuju mobil yang ia parkir di depan pagar rumahnya. Awan berteriak, ia meminta Dimar agar tidak menggunakan emosi. Tapi, Dimar sama sekali tidak menghiraukan panggilan Awan.
"Mas Dimar? Cari Alex, ya?" tanya seorang lelaki, mendorong pagar rumah. "Bukannya Alex lagi pergi ke rumahnya Mas Dimar?"
"Lo telepon dia sekarang juga!" bentak Dimar.
Tidak ada tanda-tanda Alex di rumah. Jika niat Alex ketahuan Awan, mungkin saja lelaki itu tidak akan pulang. Melainkan pergi ke tempat lain. Atau saja pergi ke rumah salah satu temannya untuk bersembunyi.
"Nggak aktif, Mas. Ada apa sih? Alex kenapa? Kalian bertengkar?" tanya lelaki muda itu.
Dimar melihat salah satu mobil Alex yang di parkir. Dimar memutar kepalanya, mencari benda apa saja di sekelilingnya. Tatapan matanya berhenti ke kursi kayu di belakangnya.
Lelaki muda itu, adik Alex, sontak meloncat kaget lantas mundur menjauh ketika Dimar melempar kursi kayunya ke arah mobil hitam milik Alex. Tidak cukup sekali, Dimar mengahantamkan benda itu berkali-kali hingga kaca mobil Alex, sampai spion mobilnya pun patah.
"Mas, kenapa sih? Kalian ada masalah apa?!" tanyanya, panik.
Dimar membanting kursi. Napasnya menjadi tidak stabil karena dikuasai emosi. Dimar berpesan kepada adik Alex. "Bilang sama Abang lo. Gue cari dia. Kalau mau minta ganti rugi mobilnya, dia harus ketemu gue langsung!"
Sementara itu di rumah Dimar, Awan wara-wiri sembari menelpon nomor Dimar. Panggilannya tidak diangkat. Awan berdecak, ia tidak menyerah dan menelpon ke nomor Dimar sekali lagi.
"Kalau sampai Dimar bunuh orang karena belain kamu, awas aja," ancam Awan melirik Malaka. Ia menarik ponselnya menjauh, lantas berdecak sekali lagi.
Awan menjadi serba salah. Di satu posisi, Awan cukup prihatin atas apa yang terjadi kepada Malaka di masa lalu. Dan kejadian tadi, tentu saja membangkitkan trauma Malaka. Namun di sisi lain, Awan merasa sangat cemburu kepada Malaka. Dimar menjadi sangat marah. Awan bahkan hampir tidak mengenali Dimar, padahal sudah bersama lelaki itu selama bertahun-tahun.
Malaka sudah merubah Dimar menjadi pribadi yang berbeda. Seumur hidup Awan, ia bersumpah, baru kali ini ia melihat Dimar semarah tadi. Bahkan, Dimar mengucapkan sumpah serapah, lelaki itu akan membunuh Alex jika ia berhasil menemukannya.
***
"Nggak... jangan," isak Malaka, menyeret tubuhnya sampai ke ujung ranjang ketika Dimar mendekatinya.
"La, ini aku... coba lihat, ini aku, suami kamu."
Di balik pintu, Awan mendengar sendiri Dimar menyebut dirinya sembari menepuk dadanya, sebagai suami Malaka. Mendengarnya, hati Awan menjadi sakit. Ia tidak suka melihat kedekatan Dimar dan Malaka. Namun di sisi lain, Awan tidak bisa berbuat banyak. Apa lagi melihat kondisi Malaka setelah kejadian tadi.
"Aku nggak akan nyakitin kamu, La. Iya, coba perhatiin baik-baik. Ini aku," bisik Dimar terus membujuk Malaka.
Malaka rupanya mulai sadar jika lelaki di depannya adala Dimar, suaminya. Seketika tangis Malaka pecah, ia menjadi sangat histeris. Suara bergetar ketika ia membuka mulutnya, lantas mengatakan, "Tadi, dia berusaha buat cium aku... dia pegang tangan aku, dia cium tangan aku, Kak... aku benci. Aku benci diri aku." Sembari mengatakannya, Malaka menggosok lengan kanannya cukup keras.
"La, tenang... Malaka." Kedua tangan Dimar menangkup wajah istrinya, menatap sepasang netra itu dengan lembut.
"Kak Dimar lebih baik jauhin aku. Aku udah dipegang-pegang sama dia... aku benci banget! Aku—"
"Malaka. Hei," bisik Dimar, menarik wajah Malaka hingga keduanya saling menatap. Dimar melihat air mata Malaka tidak berhenti meleleh. Malaka berusaha menjauhinya, berbisik bahwa ia membenci dirinya sendiri karena kejadian tadi.
Malaka telah menghabiskan lima tahunnya pergi bertemu dengan psikolog hingga psikiater untuk mengobati rasa traumanya akibat pelecehan yang dialaminya sewaktu remaja. Dimar dengan setia menemani Malaka, menunggu perempuan tanpa lelah, dan mengeluh, sampai Malaka keluar dari ruang konseling dengan raut wajah sedikit lebih tenang. Bayangkan, lima tahun Malaka habiskan untuk mengobati traumanya. Begitu Malaka merasa ia mulai lebih tenang, dan bisa mengatasi traumanya, tiba-tiba ada orang yang datang, membuat traumanya muncul lagi.
"Nggak, Kak... mending Kakak jauh-jauh dari aku. Aku—"
"Di mana dia cium kamu, La?" Dimar menangkup pipi Malaka, lembut.
"Di sini.... aku benci banget." Malaka memejamkan mata sembari menunjuk lengannya, kemudian rahangnya dengan suara gemetaran. "Di sini...,"
Di depan mata kepala Awan sendiri, Dimar mencium lengan Malaka, rahang perempuan itu, lantas membawa Malaka ke dalam pelukannya. "Aku udah hapus jejak orang itu... kamu sekarang aman, jangan takut," bisiknya. "Aku minta maaf karena nggak becus jagain kamu. Maaf, Malaka..."
Awan menatap pemandangan tersebut dengan tatapan sedih. Ia membuang tatapan, menarik pintu kamar lantas menutupnya perlahan meninggalkan Dimar dan Malaka yang tengah berpelukan.
To be continue---
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
Ficção GeralMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...