Yayya duduk sendiri di atas sofa. Kedua kakinya ia gerakkan, menunggu ibunya datang membawakan sepatu sekolah untuknya dengan bosan.
Malaka keluar kamar, di tangan kanannya memegangi sepatu milik sang putri. Ia menghampiri Yayya, lantas duduk berjongkok sembari memasangkan kaus kaki beserta sepatunya.
"Yayya mau cokelat, nggak?" Selesai memasang sepatu Yayya, Malaka mengeluarkan dua bungkus cokelat. "Satu buat Ibu, satu lagi untuk Yayya. Tapi, Ibu punya syarat. Kalau Yayya setuju, Ibu bagi cokelatnya sama Yayya."
"Apa syaratnya?" tanya Yayya.
Sedari tadi pandangan Yayya cuma tertuju pada dua bungkus cokelat yang dipegang ibunya. Cokelat adalah makanan kesukaan Yayya. Apa pun jenis makanannya, asal berbau cokelat, Yayya pasti suka. Hanya saja, ayahnya seringkali membatasi Yayya makan cokelat karena takut ia sakit gigi seperti waktu itu.
"Janji mau jagain Ayah?" Malaka menyodorkan jari kelingkingnya di depan Yayya.
Yayya mengerutkan dahi, seakan bingung dengan permintaan sang Ibu.
Tidak disangka, Dimar berada di belakang istri dan anaknya. Lelaki itu memberi isyarat agar Yayya tidak memberitahu ibunya—jika ayahnya ada di belakang tengah menguping pembicaraan mereka berdua.
"Ibu juga nggak suka kalau ada yang genit sama Ayah." Bibir Malaka mengerucut lucu. "Selama Ayah anterin Yayya ke sekolah, siapa aja yang genit sama Ayah?"
"Banyak," jawab Yayya, pandangannya terarah pada Dimar. Tapi Malaka belum menyadarinya.
"Janji jagain Ayah, ya?" Malaka menautkan jari kelingking mereka. "Sebagai tanda kerjasama Ibu sama Yayya, cokelat ini buat Yayya."
Belum sempat cokelat itu di tangan Yayya, Dimar tahu-tahu berdeham, mengejutkan Malaka yang tadinya duduk berjongkok di depan sang putri. Malaka sampai menjatuhkan bokongnya, menoleh ke belakang lalu mendongak menatap Dimar tepat di sampingnya sekarang.
"Siapa yang bolehin Yayya makan cokelat?" Dimar menginterogasi keduanya.
Yayya turun dari sofa. Gayanya sangat cuek. "Ibu," jawabnya.
"Kak..."
Dimar mendengar Malaka merengek ketika ia bantu duduk di sofa. Ia beralih ke Yayya. "Ayah anterin Yayya ke sekolah dulu, yuk. Jangan lupa tas sama bekalnya dibawa, ya."
Dimar membantu Yayya memakai tas sekolahnya. Sebelumnya ia memeriksa isi tas, mengantisipasi ada buku atau bekal milik Yayya yang ketinggalan.
"Kak." Tangan Malaka menarik ujung baju Dimar.
"Tunggu sampai aku selesai anter Yayya ke sekolah, baru bahas masalah di antara kita." Dimar menggendong Yayya, membawa gadis kecil itu keluar menuju garasi.
***
Malaka setengah merebahkan badan ke ranjang. Sementara Dimar, duduk di tepi dengan menaikkan satu kakinya. Malaka merasa ia seperti tengah diinterogasi oleh suaminya.
Dimar melipat tangan di dada. "Nggak mau jelasin yang tadi?"
"Mau," angguk Malaka, lucu.
Malaka tahu tidak, sih, ekspresi wajah yang ditunjukkan perempuan itu sekarang kelewat menggemaskan di mata Dimar. Lelaki itu harus menahan diri lebih lama untuk tidak memeluk, serta menghujani ciuman di wajah istrinya.
"Kakak tahu kan, aku lagi hamil."
"Iya." Dimar mengepalkan kelima jarinya di bawah ketiaknya menahan gemas. Ia sedang pura-pura marah.
"Aku, tuh...," Malaka menunduk, menggigit bawah bibirnya.
"Nggak sopan ngomong kalau sambil nunduk." Dimar agak meninggikan suaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
Ficción GeneralMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...