"Yayya mau ikut Ayah apa, nggak?"
"Ke mana?"
"Mau anter Nenek pulang, terus jemput Ibu di rumah sakit."
"Ikut, deh," jawabnya, dibarengi dengan anggukkan kepala ringan.
Dimar tersenyum tipis, ia memakaikan jaket kepada putrinya sebelum ia gendong menuju garasi. Meriam telah menunggu Dimar setidaknya selama lima menit penuh. Begitu anak dan cucunya keluar lalu menghampirinya, Meriam masuk ke dalam mobil.
"Yayya mau dipangku sama Nenek aja, nggak?" tanya Meriam.
Dari awal, Yayya memilih duduk di bangku belakang sendirian. Gadis kecil itu menggelengkan kepala, lantas memberi jawaban, "Aku bisa duduk sendiri. Nanti Nenek bisa pegal kakinya."
Dimar menoleh ke belakang sekilas sembari tersenyum mendengar jawaban sang putri. "Sejak udah sekolah, apa-apa mau sendiri Yayya, Bu."
Meriam menengok pada Dimar di sampingnya. "Udah waktunya Yayya punya kamar sendiri, Mar," kata Meriam. "Sebentar lagi Yayya mau masuk SD, lho. Masa mau tidur bertiga terus sama orang tuanya, Mar? Iya kan, Yya?"
Yayya menganggukkan kepalanya. Entah paham atau tidak, karena sedari tadi Yayya kelihatan sudah mengantuk, tapi tidak mau ditinggal oleh ayahnya.
"Kamu nggak takut apa, Mar, kalau kamu sama Malaka gituan, terus Yayya nggak sengaja lihat kalian, gimana? Nggak bagus dampaknya buat Yayya ke depannya. Ada baiknya antisipasi dari sekarang," nasihat Meriam.
Sontak, Dimar berdeham hingga dua kali. Ibunya terlalu blak-blakkan sedari dulu. Dimar berdeham sekali lagi, mencoba menegur sang Ibu dengan suara paling pelan agar Yayya tidak mendengar. "Bu, bisa agak pelan suaranya? Kalau Yayya tanya, kita juga yang bingung mau jawab."
Alasan, itu cuma alasan Dimar saja. Ia sengaja menghindari pertanyaan barusan. Dimar akan memastikan Yayya tidak melihat kelakuan aneh kedua orang tuanya. Apa lagi sampai ke tahap itu... iya, berhubungan intim. Karena selama ia dan Malaka menikah, tidak pernah melakukannya. Kalau cuma sebatas mencium kening Malaka sebelum tidur, atau tanpa sengaja memeluk Malaka ketika bangun di pagi hari karena Yayya lebih dulu bangun, dan nongkrong di depan TV, tidak terlalu menjadi masalah. Bukannya sebagai orang tua, Dimar dan Malaka harus terlihat saling menyayangi?
"Kamu dengar Ibu ngomong nggak, Mar?" tegur Meriam. Ia merasa kesal karena Dimar malah diam saja. "Yayya udah cukup umur buat punya adik. Kamu sama Malaka nggak berniat nambah anak lagi apa?"
"Bu," sahut Dimar berusaha selembut mungkin. "Buat sekarang, aku sama Malaka mau fokus sama Yayya dulu. Ibu jangan bahas hal ini juga ke Malaka, ya? Dia udah cukup banyak pekerjaan di rumah dan membagi waktu buat pekerjaan dia sendiri di rumah sakit."
"Hm," gumam Meriam. Ia memilih diam setelahnya. "Ya udah, apa kata kalian aja. Tapi ingat nasihat Ibu tadi ya, Mar. Buruan siapin kamar sendiri buat Yayya. Ibu nggak mau cucu Ibu matanya jadi ternodai tanpa sengaja."
"Iya, Bu. Iya," timpal Dimar sembari mengangguk.
Tuh, kan, Meriam bilang apa. Pasti jawaban Dimar selalu, "Iya, Bu. Iya." Padahal Meriam gelisah jika ketakutannya sungguhan terjadi.
Di depannya saja, Dimar dan Malaka selalu mesra. Apa lagi di belakang Meriam. Kamar mereka bukan cuma di huni berdua, tapi bertiga dengan Yayya.
***
Sekitar sepuluh menit yang lalu Dimar mengirim pesan ke nomor Malaka. Lelaki itu memberi kabar akan sedikit terlambat menjemputnya di rumah sakit, karena ada barang ibunya yang ketinggalan di rumah mereka. Dimar terpaksa kembali ke rumah untuk mengambil barang itu lebih dulu, baru setelah itu jalan menuju ke rumah sakit tempat Malaka bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
General FictionMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...