Menjadi Prioritas Dimar

1.7K 264 19
                                    

"Akh," erang Malaka memegang luka di keningnya sendiri. 

Di ujung sofa, Yayya cuma memandang ibunya tanpa memberi reaksi apa pun selain diam dan menonton. Yayya melihat dengan mata kepalanya sendiri sang Ibu dipukuli seorang perempuan yang tidak dikenalnya. Ini pertama kali Yayya melihat perempuan tadi. Entah teman ayahnya, atau justru...,

Yayya turun dari sofa, kedua kakinya melangkah menuju ke kursi teras. Di belakang pintu utama, ia mendengar keributan antara Awan dan perempuan tadi. Yayya mendongak, sepasang mata bulat gadis kecil itu mengerjap. Walau ia tak mengerti sepenuhnya percakapan mereka, Yayya hanya tahu jika mereka berdua saling mengenal.

"Terus apa yang kamu lakuin di sini di saat teman kamu lagi nggak ada di rumahnya?!" teriak si perempuan. "Kalau bukan karena kalian mau selingkuh! Atau jangan-jangan anak perempuan yang sering bersama kamu, itu anak kamu sama perempuan tadi?!" tuduhnya, mendorong kedua bahu Awan cukup kuat hingga lelaki itu berjalan mundur ke belakang.

"Jaga ucapan kamu ya, Re," elak Awan menunjuk wajah Rea, istrinya.

Iya, perempuan yang datang ke rumah Dimar lalu memukuli Malaka dengan tas hitamnya yang berat itu—istrinya Awan.

Sebut saja Rea, perempuan yang telah dinikahi Awan sejak dua tahun lalu. Rea tahu, ia dan Awan memang dinikahkan dari hasil perjodohan. Tapi Awan, seolah tidak pernah menganggap Rea ada.

Mungkin, Awan tidak pernah bersikap kasar padanya selama mereka menikah. Namun, sikap dingin Awan, ketidakpedulian lelaki itu justru menyakiti perasaan Rea sebagai seorang istri. Kalau Awan tetap begini, kenapa tidak sekalian menggunggatnya cerai saja? Daripada ia harus melihat Awan bolak-balik ke rumah ini.

Ya, Diam-diam Rea menyelidiki suaminya. Kapan, di mana, bersama siapa, Awan setiap harinya. Dan Rea, selalu menemukan Awan pergi ke rumah Dimar. Mulanya Rea pikir Awan kemari untuk bertemu dengan Dimar saja. Tapi, walau Dimar tidak di rumah, Awan tetap kemari. Bermain bersama Yayya, anak semata wayang Dimar. Dan di rumah itu juga ada Malaka, istri Dimar. Kalau tidak ada hubungan apa-apa kenapa harus rutin kemari? Salah kalau Rea pikir Awan berselingkuh dengan Malaka?

Yayya cukup lama diam dan mendengar percakapan kedua orang dewasa tersebut. Ia memutuskan kembali ke sofa menghampiri ibunya. Entah, Yayya bingung harus memberi reaksi seperti apa. Ia melihat kening ibunya terluka, berubah menjadi biru, sesekali ia mendengar suara ringisan ibunya.

"Yya," panggil Malaka, di tengah menahan perih di wajahnya, perempuan itu masih bisa tersenyum ketika menatap putrinya. "Gosok gigi, cuci kaki sama tangan dulu, yuk. Ibu temenin kamu tidur di kamar. Ayah barusan kirim pesan ke Ibu, katanya masih di jalan. Besok waktu kamu bangun, Ayah pasti udah di samping kamu."

Yayya mengangguk kecil. Ia menurut begitu saja digandeng oleh Malaka menuju ke kamar mandi. Membantu putrinya menggosok gigi, mencuci tangan, kaki, dan wajahnya sebelum pergi tidur.

"Malaka," seru Awan dari luar kamar.

"Itu suara Om Awan. Ibu keluar bentar, ya. Kamu gosok gigi dulu," kata Malaka sebelum meninggalkan putrinya ke kamar mandi.

Yayya menolehkan kepala, mengikuti langkah sang Ibu keluar kamar mandi.

Di depan pintu kamar, Awan menunggu Malaka keluar. Rea baru saja pergi setelah mereka adu mulut. Berkali-kali Awan menghela napas, mengusap wajahnya kasar. Ia tidak mengira Rea akan melakukan tindakan senekat ini.

"Iya, Kak Awan. Kenapa?" tanya Malaka.

Sepasang mata cokelat Awan memandangi luka di kening Malaka. Sejujurnya ia terkejut atas kejadian tadi. Awan kesal, ia merasa Malaka terlalu bodoh karena cuma diam saat dipukuli Rea. Paling tidak, Malaka menghindari, atau balas memukul saja.

Di depan mata kepalanya sendiri, Awan melihat Rea memukuli Malaka dengan membabi buta. Awan dengan segera menarik Rea keluar, memisahkan kedua perempuan itu. Kalau saja Awan tidak ada di sana, ia khawatir Malaka akan dibunuh oleh Rea.

"Rea udah pulang," beritahu Awan, pelan. "Bisa nggak, lain kali kamu bisa jaga diri? Jangan lemah banget jadi perempuan! Kenapa? Berharap Dimar selalu khawatirin kamu? Nggak cukup caper selama tujuh tahun sama pacar orang?" cecar Awan, sinis.

Andai saja Malaka tahu seberapa sedihnya Awan selama ini, Awan merasa diduakan oleh Dimar setelah lelaki itu menikah. Di mata Dimar sekarang, prioritasnya adalah Malaka dan Yayya.

Awan jadi bertanya-tanya, Malaka sungguhan adiknya Nasti bukan, sih? Kenapa beda sekali dengan mendiang kakaknya yang bar-bar itu?! Malaka tidak pernah bertindak tegas setiap kali ada yang menyakitinya. Termasuk pada Awan. Tidak peduli seberapa sering Awan menyakiti Malaka, perempuan itu bahkan masih bisa menyapanya dengan senyuman.

"Kalau kamu pikir aku akan minta maaf atas tindakan Rea tadi, kamu salah besar. Aku nggak akan pernah minta maaf." Awan menegaskan. Bahkan tatapan lelaki itu menunjukkan seberapa bencinya Awan kepada Malaka.

Awan sungguhan tidak mengucapkan maaf. Padahal ia tahu Rea meninggalkan luka cukup serius di wajah Malaka. Lelaki itu berbalik, melangkah jauh meninggalkan kamar Malaka dengan perasaan jengah, kesal, bercampur geram. Lihat saja nanti, Malaka pasti akan mengadu kepada Dimar, lalu Awan-lah yang akan mendapat teguran dari lelaki itu.

Awan sudah muak, namun ia tidak bisa menyerah begitu saja. Dimar akan tetap menjadi miliknya. Selamanya.

***

Malaka menyibak rambut panjangnya ke belakang, membungkukkan punggung kemudian mencium kening Yayya. Setelah cukup lama ia membujuk sang putri agar segera tidur, akhirnya Yayya memejamkan mata setelah Malaka membacakan sebuah dongeng.

Ia senang Yayya tidak kehilangan figur seorang Ayah. Dimar seolah sempurna berperan sebagai Ayah Yayya, walau kenyataannya, Dimar bukan Ayah kandung Yayya. Setiap malam, menjelang ia tidur, Malaka menjadi was-was. Khawatir berlebihan memikirkan, bagaimana jika suatu hari Yayya tahu kalau Dimar bukan Ayah kandungnya. Seberapa hancur perasaan Yayya kalau tahu ia sebenarnya anak hasil dari...,

Seseorang membuka pintu, dan membuka pintu kamar. Seketika, Malaka menunduk mengusap kedua sudut matanya setelah ia mencium aroma parfum Dimar.

"Yayya udah tidur, ya? Maaf, ya. Aku pulang telat. Pasti dia udah nunggu lama." Dimar mengambil duduk di tepi ranjang, menyentuh puncak kepala Yayya, kemudian mencium pipi anaknya.

"Kakak udah makan, belum? Aku siapin air hangat dulu, ya. Jadi Kakak bisa mandi sambil nunggu makanannya selesai aku hangatin." Malaka menghindari kontak mata dengan Dimar.

Ia menyibak selimut, hendak menuruni ranjang sebelum Dimar menahan lengannya. "Muka kamu kenapa? Coba lihat sini... kamu habis nangis?"

Malaka berusaha melepaskan tangan Dimar. Ia menunduk, menyembunyikan luka di wajahnya. "Kakak pasti capek banget seharian kerja di luar. Aku—"

"Malaka."

Perempuan itu berhenti melepaskan tangan Dimar. Perlahan ia mengangkat wajah, menatap Dimar lalu bergumam, "Maaf... aku nggak mau bikin Kakak khawatir lagi. Aku nggak maksud cari perhatian Kakak selama ini."

Tangan Dimar berpindah menyentuh wajah Malaka. Luka di ujung kening, pipi dan mata istrinya tidak lepas dari sorot mata lelaki itu. "Ini kenapa? Siapa yang lakuin ini ke kamu? Siapa yang bilang kamu cari perhatian sama aku, La?" Dimar menghujani Malaka dengan banyak pertanyaan.

"Kak, aku—"

"Kamu mau jawab, atau aku cari tahu sendiri?" ancam Dimar.

Itulah kenapa Dimar selalu merasa khawatir meninggalkan Malaka sendiri di rumah. Dalam artian sendiri, tidak ada orang yang menjaga Malaka. Di rumah ini ada asisten rumah tangga, dan seorang satpam. Mungkin, Malaka tidak akan pernah merasa kesepian. Namun untuk menjaga perempuan itu, Dimar rasa, cuma ia yang bisa melakukannya.

Dimar mengulurkan kedua tangan, mencondongkan setengah badannya ke depan kemudian memeluk Malaka sembari berbisik maaf di telinga perempuan itu.

Malaka meletakkan dagunya ke sebelah bahu Dimar, menggelengkan kepala, lantas balas berbisik, "Bukan salah Kakak. Jangan minta maaf."

Karena yang diucapkan Awan memang benar. Malaka bahkan tidak becus menjaga dirinya sendiri. Ia terlalu sering membuat Dimar mengkhwatirkannya.  











To be continue---

You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang