Dampak Pertengkaran Itu

1.9K 269 11
                                    

Keputusan Dimar untuk tetap diam rupanya berdampak pada keharmonisan keluarga kecil mereka. Mungkin dari luar Malaka terlihat normal. Perempuan itu masih mengurus suami dan anaknya seperti biasa. Bekerja seperti biasa. Diantar dan jemput oleh Dimar. Hanya saja Malaka menjadi lebih murung dan dingin. Beberapa kali Malaka terlihat sengaja menghindari Dimar. 

Dari sudut pandang Dimar kenapa ia memilih diam, karena ia pikir Malaka sedang dikuasai oleh rasa emosional setelah kehilangan calon bayinya. Maka dari itu Malaka jadi mudah overthinking.

Sementara dari sudut pandang Malaka, selama Dimar terus diam dan mengalah, ia tidak akan bisa tenang. Jika selamanya Dimar akan terus seperti itu, Malaka tidak memiliki arti apa-apa bagi Dimar.

Dimar diam, artinya sama seperti membenarkan tuduhan Malaka. Jika Dimar cuma kasihan kepadanya. Tidak ada cinta di hati lelaki itu untuk dirinya.

"Aku masuk kamar dulu mau istirahat." Tiba-tiba di tengah makan malam berlangsung, bahkan makanan di piring Malaka hanya berkurang tiga sendok, perempuan itu mendorong kursinya ke belakang lantas beranjak.

Suami beserta putrinya dengan kompak menatap ke arahnya dengan pandangan bingung. Serba salah. Bukan sekali ini saja Malaka pergi lebih dulu ketika mereka makan bersama.

"Kamu nggak apa-apa? Kamu sakit?" tanya Dimar khawatir.

Malaka menggeleng. "Aku cuma pengin rebahan di kamar. Kakak sama Yayya makan berdua nggak apa-apa, kan?"

"Uhm," gumam Dimar mengalah.

Saat ini memaksa Malaka pun percuma. Kalau Dimar menekan istrinya untuk tetap tinggal di meja makan dan menghabiskan makanannya, Malaka akan semakin menjauhinya. Menghindari dirinya dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Maka Dimar mengalah. Ia membiarkan Malaka pergi ke kamar lebih dulu. Meninggalkan ia dan Yayya cuma berdua di meja makan menghabiskan sisa makanannya.

Perubahan Malaka tentu tidak lepas dari perhatian Yayya. Gadis kecil itu menyadari ibunya terlampau sedih setelah kecelakaan itu. Yayya pernah menemukan ibunya menangis di dalam kamar mandi.

Waktu itu cuma ada Yayya dan ibunya di rumah. Ayahnya sedang bekerja di luar dan baru kembali malam hari. Yayya bingung harus mengadu kepada siapa. Ia memutuskan untuk berdiri di samping pintu kamar mandi yang ditutup. Menyandarkan punggung kecilnya ke dinding sembari terus mendengarkan ibunya menangis sangat kuat. Yayya menoleh sepintas. Tidak ada tanda-tanda ibunya akan keluar kamar mandi.

Sesakit apa perasaan ibunya? Yayya menunggu sambil menunduk. Seolah keberadaannya di sana untuk menjaga ibunya. Mendengar atau melihat ibunya menangis bukan pertama kalinya bagi Yayya. Ibunya cukup cengeng. Hanya karena menonton film sedih, ibunya akan menangis hingga sesenggukkan. Atau, seperti terakhir kali menghadapi kenakalan Yayya waktu itu. Tapi tangisan ibunya di kamar mandi terdengar berbeda. Lebih dalam... lebih sakit...

Yayya bertanya pada dirinya. Apa alasan Ibu menangis karena adik bayinya meninggal? Ibunya pasti sangat menyayangi adiknya. Bagaimana jika posisinya ditukar? Yayya yang meninggal? Apa ibunya akan menangis sehebat itu? Mengingat kata-kata Om Awan, ibunya tidak menyayangi Yayya. Ia bukan anak yang diharapkan ibunya.

Setelah makan malam mereka selesai. Dimar menyuruh Yayya untuk pergi ke kamar lebih dulu dan ia ke ruang kerja untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Yayya menuruti kata-kata ayahnya. Ia teringat hasil gambarnya yang mendapat nilai sempurna di sekolah. Yayya ingin memerlihatkannya kepada sang Ibu. Siapa tahu bisa menghibur ibunya yang sedang sedih.

Yayya memeluk buku gambarnya di dada, menahannya dengan sebelah tangan. Sementara kedua kakinya melangkah menuju ke kamar. Tangan kanan Yayya telah menggapai knop pintu, menjinjitkan kedua kaki bersamaan memutar knop-nya hingga terbuka.

You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang