Sebuah Kabar (Ending)

3.8K 290 11
                                    

Perasaan Malaka kepada Dimar tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tentu Malaka juga mencintai lelaki itu seperti Dimar mencintainya. Hanya saja Malaka menyadari perasaannya cukup terlambat. Beruntung Malaka tidak kehilangan kesempatan. 

Dimar menunggu jawaban Malaka lebih dari lima menit. Jika perempuan itu malu mengatakan, "Aku juga cinta kamu." Setidaknya Malaka mengatakannya dengan kata-kata lebih sederhana. Misalnya saja, "Aku juga..." Tapi lebih dari lima menit berlangsung Malaka cuma diam sembari tersenyum salah tingkah.

"Kayaknya perasaan aku bertepuk sebelah tangan dari dulu." Diam-diam Dimar melirik Malaka, pura-pura merajuk.

Tidak ia duga, Malaka malah mencubiti pinggangnya. "Kalau perasaan Kakak bertepuk sebelah tangan, kemarin aku nggak bakalan sampai hamil!"

Dimar menarik satu tangannya menyangga kepala. "Zaman sekarang banyak pasangan yang bisa punya anak lebih dari satu tapi nggak punya perasaan."

Malaka memicingkan mata. "Jadi kesimpulan Kakak bilang gini nih, apa? Aku gituan sama Kakak, bahkan rutin banget, tapi tanpa perasaan?!"

"Eh? Nggak." Dimar segera duduk di samping Malaka sebelum salahpaham semakin diperpanjang.

Entah Dimar yang salah bicara atau Malaka saja terlalu sensitif akhir-akhir ini. Kemarin ia bicara jujur malah diusir. Barusan maunya memancing, malah terpancing sungguhan—emosinya. Malaka menunjukkan raut wajah kesal.

Padahal cuma perkara menunggu balasan cinta Malaka, Dimar berakhir dicubiti oleh istrinya.

"Aku kira Kakak cowok paling peka. Nggak usah dikasih tahu juga bakal paham! Kakak pikir aku nangis setelah lihat kalian ngobrol di halaman waktu itu karena apa kalau bukan cemburu?! Mau itu Kak Awan, gurunya Yayya yang senyum-senyum tiap ketemu Kakak, itu sama aja buat aku! Nyebelin!"

"Tunggu dulu." Dimar menahan tangan Malaka. "Kamu nangis lihat aku sama Awan? Kapan?"

Dengan sendirinya Malaka menurunkan tangannya. Menjauhkannya dari pinggang Dimar. Ia tanpa sengaja membocorkan rahasianya sendiri. Padahal ia telah membuat kesepakatan dengan diri sendiri agar tidak memberitahunya kepada Dimar. Tapi barusan saja, ia juga yang membocorkannya kepada lelaki itu.

"Sebelum aku kecelakaan." Suara Malaka menciut. "Waktu itu aku kebangun dan cari Kakak, tapi aku malah lihat kalian ngobrol di halaman cukup lama."

"Tapi waktu aku masuk, kamu lagi tidur."

Malaka meringis. "Aku pura-pura tidur."

Dimar mendesah panjang. "Kenapa nggak bilang jujur aja? Kamu bisa tanya langsung kenapa Awan ke sini. Dan kita ngobrol apa."

"Kakak tahu nggak, sih. Aku mikirnya Kak Awan mau ngerebut Kakak. Aku takut banget. Gimana kalau Kakak lebih milih dia daripada aku? Aku juga butuh tenangin diri daripada kita berdebat sambil dengerin aku nangis-nangis."

Selisih usia di antara mereka sebanyak sepuluh tahun. Sebagai yang lebih muda, Malaka berusaha mengimbangi emosi Dimar yang kelewat tenang. Jika ia meledak waktu itu, Malaka memikirkan hubungan mereka ke depannya. Bisa saja membuat Dimar tidak menyukainya. Merasa dikekang dan diatur bertemu siapa pun.

Malaka sama seperti perempuan di luar sana. Bisa marah dan cemburu berlebihan jika ada orang lain yang berniat mendekati suaminya. Tapi Malaka memilih memendamnya, menenangkan diri daripada harus bertanya aneh-aneh kepada Dimar. Lalu, mereka berakhir bertengkar cuma karena Malaka dikuasai emosi dan cemburu buta.

"Kamu bisa cemburu ternyata?" Kedua sudut bibir Dimar terangkat membentuk senyum lebar. "Aku pikir cuma aku aja yang bisa cemburu."

"Aku lagi cemburu lho, Kak. Kenapa malah senyum-senyum?" Malaka mendelik.

You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang