Secara otomatis Malaka mengangkat setengah badan lalu memutar kepalanya mencari sosok Dimar. Di samping tempat suaminya biasanya berbaring justru kosong. Apa Dimar belum masuk ke kamar sama sekali?
Pukul sembilan malam lewat, Yayya merengek minta ditemani tidur oleh Malaka. Kali ini Yayya tidak membuat keributan saat Dimar tidak ada di sisinya. Yayya meminta ibunya membacakan dongeng sembari mengelus punggungnya seperti yang dilakukan sang Ayah saat ia akan tidur. Malaka tertegun mendengarnya. Ada gerangan apa sampai Yayya minta Malaka yang mengelus punggungnya? Biasanya anak itu akan menangis jika bukan ayahnya yang melakukannya.
Terakhir kali setelah makan malam bersama, Dimar pamit pergi ke ruang kerjanya. Suaminya sedang sibuk dengan sebuah proyek film. Salah satu novel milik Dimar kembali diangkat ke layar lebar.
Malaka berdiri di depan pintu ruang kerja Dimar. Menatapnya cukup lama sebelum yakin mengetuk pintu sebelum masuk. Biarpun Dimar itu suaminya, Malaka tidak pernah asal sembarangan masuk.
Tidak hanya saat akan masuk ke ruang kerjanya saja. Malaka tidak pernah berniat memeriksa ponsel suaminya. Selain menjaga privasi, Malaka hanya jaga-jaga saja. Takut menemukan sesuatu yang menyakiti hatinya. Lebih baik ia tidak melihatnya sama sekali daripada mencari penyakit.
"Kak, aku masuk ya?" Dirasa tidak ada sahutan padahal sudah lebih dari tiga kali mengetuk pintu. Malaka memutuskan masuk saja. Ia menebak jika suaminya pasti ketiduran lagi.
Sesuai dugaan Malaka, Dimar sungguhan tidur di kursi kerjanya dengan kondisi laptop yang masih menyala. Kedua lengannya disilang ke atas meja menindih tumpukkan kertas coretan.
Pelan-pelan Malaka menarik satu per satu kertas di meja dan menunpuknya menjadi satu. Diletakkannya ke atas laptop yang telah ditutupnya.
Malaka tersentak, secara otomatis menyentuh sebuah tangan yang melingkari pinggangnya kini. Ia menurunkan tangan Dimar dengan hati-hati. Berbisik agar lelaki itu lebih baik pindah sebelum badannya sakit semua. Sudah berapa lama suaminya tidur dengan posisi begini? Apa kepalanya tidak pusing.
Ia memutar badan menghadap pada Dimar. Cuma tangan lelaki itu saja yang bergerak. Disentuhnya rambut tebal suaminya. Malaka membungkuk, berniat mencium Dimar—tapi urung karena Dimar tiba-tiba terbangun lantas mendongak.
Kedua pasang mata itu saling bertemu. Menatap satu sama lain cukup lama. Jangan tanya lagi bagaimana perasaan Dimar saat wajah mereka begitu menjadi dekat. Dimar tersenyum tipis lalu menepuk sebelah pipi istrinya.
"Kakak kenapa tiba-tiba bangun." Malaka menahan napas. Bergerak mundur perlahan namun berhasil ditahan oleh tangan Dimar yang kembali melingkari pinggangnya.
"Kenapa nggak dilanjut?" tanya Dimar, serak.
"Apanya?" Malaka balas bertanya.
Dimar bergumam, "Tadi kamu mau ngapain?"
Malaka menjadi salah tingkah. Agak gengsi mengaku bahwa ia ingin mencium Dimar saat lelaki itu masih tidur. Karena semenjak Malaka keguguran, ia menghindari Dimar. Ia membatasi skinship dengan suaminya sendiri.
"Kamu belum maafin aku?" tanya Dimar lagi.
Malaka tetap berdiri di depan Dimar. Membiarkan kedua tangan lelaki itu berada di pinggangnya. Menahan gerak Malaka sedikit saja. Mungkin takut Malaka akan kabur dan menghindar lagi.
"Kakak bikin salah apa sampai aku nggak bisa maafin?" balas Malaka menggigit bawah bibirnya.
Dimar menggeleng. "Jangan gigit bibir kayak gitu."
"Bisa-bisanya Kakak mikir ke sana. Aku lagi serius padahal." Malaka paham isi kepala Dimar sekarang.
"Kamu jangan mancing makanya." Dimar malah megomel. "Kalau lagi ngomong bibirnya yang benar."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!]
Ficção GeralMalaka adalah korban pelecehan oleh tiga orang teman sekolahnya. Salah satu pelaku berniat bertanggungjawab dengan menikahinya. Namun Malaka menolak. Ia mengalami trauma berat pasca kejadian itu. Bagaimana bisa ia hidup bersama orang yang telah men...